Nasihat : Setahap Demi Setahap

Sumber gambar : small2tall.files.wordpress.com
Sumber gambar : small2tall.files.wordpress.com

Saya pernah dicap sebagai manusia paling sibuk. Alasannya sederhana, saya tidak pernah punya waktu di tiap akhir pekan bersama keluarga dan teman-teman diluar komunitas yang saya ikuti. Kerjaanku wira-wiri kesana kemari, bahkan selepas kerja sebagai karyawan kantoran. Padahal saya berhenti dari kerja kantoran karena saya ingin bisa lebih produktif lagi sebagai manusia dan tidak terjebak dalam rutinitas yang menjenuhkan dan mematikan kreatifitas. Tapi nyatanya, tidak jarang saya menemui titik-titik kejenuhan dan masa-masa yang menjengkelkan ketika saya mengerjakan aktifitas peningkatan skill versi saya. Setelah saya amati, itu dikarenakan saya tidak punya perencanaan harian, ya.. memang tiap hari saya selalu memplot kegiatan yang akan saya lakukan selama sebulan, tapi maksud saya, kesalahan terbesar saya adalah saya tidak memiliki tujuan spesifik untuk perbaikan-perbaikan diri yang dituangkan secara teknis dalam aktifitas seharian. Jadilah saya seenaknya sendiri untuk tidur jam berapa, bangun jam berapa, karena saya bekerja berdasarkan result oriented, bukan time oriented.

Celakanya, ketidakdisiplinan saya ini berujung petaka dengan tidak maksimalnya hasil pekerjaan saya. Hal tersebut biasanya membuat saya pusing dan mencoba mencari kegiatan refreshing yang juga tidak direncanakan sebelumnya. Ujung-ujungnya masalah akan merembet ke pengelolaan keuangan saya. Saya mulai tidak disiplin membuat posting pengeluaran saya, sehingga saya tidak memiliki “tabungan”.

Bersyukur memiliki Islam, yang ilmunya sepenuh semesta. Sehingga urusan keseharian sampai hal-hal perintilan, ada ilmu dan aturannya. Sehingga setahap demi setahap bisa memberikan gambaran kepada saya tentang kerangka berpikir dalam membuat sebuah perencanaan aktifitas harian yang terintegrasi dengan tujuan penciptaan.

Benarlah adanya tentang nasihat untuk berkumpul dengan orang-orang shaleh akan membuatmu menjadi manusia beruntung. Karena mau-tidak-mau kau akan terseret ke dalam pola pikir mereka dan bisa mempelajari kebiasaan-kebiasaan mereka. Apalagi era dimana kita bisa bebas melacak orang-orang inspiratif dengan berbekal laptop dan wifi yang kencang seperti sekarang ini. (Terima kasih youtube!)

Saya mulai mencari-cari apa kesalahan terbesar saya. Ternyata saya temukan!. Dengan modal dalih bersosial media untuk menambah wawasan tentang berita terkini, ternyata saya kebablasan sehingga saya terjebak dan termasuk kedalam orang-orang yang melakukan “pekerjaan dangkal” alias shallow work. Istilah shallow work pertama kali dikenalkan oleh Cal Newport dalam buku berjudul ‘Deep Work’. Dalam buku itu dia menuliskan bahwa shallow work merupakan “sejenis aktivitas yang dangkal, kelihatan sibuk, namun tidak berdampak signifikan buat peningkatan skills dan income kita”.

Wuah rasanya makjlep!. Itu saya-itu saya!!. (Seharusnya saya tidak bangga ya -,-“). Ya salah satunya ya itu , aktivitas pegang gadget mulu. Setelah saya pikir-pikir, mau sampai kapan saya ini apa-apa di posting, bermanfaat belum tentu juga buat orang lain. Akhirnya saya memutuskan untuk mengurangi kegiatan bersosial media. Berikut tahapan saya terapkan :

  1. Tidak sosmedan kecuali whatsapp selama sehari penuh, hasilnya tidak berasa, saya malah posting apa yang saya lakukan, mungkin beberapa teman ingin mencoba, cuma di saya pribadi, tidak berdampak apa-apa.
  2. Tahap berikutnya saya mulai uninstall twitter, hingga saat ini. Berdampak drastis, awalnya akan terasa ganjil icon twitter tidak ada didalam menu aplikasi hp saya, cuma lama kelamaan saya terbiasa. Mungkin sebulan sekali saya masih suka buka twitter untuk sekedar mengecek notifikasi via laptop.
  3. Tehap berikutnya saya menguninstall Path. Ini agak susah karena berulang kali saya masih kepo apa yang terjadi di path sana. Bolak balik pasang-copot akhirnya Alhamdulillah, sekarang udah nggak ada apps Path lagi di hp saya. Paling kalau penasaran, saya pinjem ipod kakak, atau hp suami 😀 .
  4. Tahap berikutnya saya uninstall Instagram. Beberapa hari memang agak ganjil, tapi akhirnya lancar jaya.

Ya ternyata memang ternyata kita didesain untuk bisa beradaptasi setahap demi setahap. Kita tidak bisa “langsung brek”. Tapi yakinlah, yang setahap-demi-setahap walaupun sedikit, lebih disukai daripada yang banyak, tapi trus nggak tobat lagi. Untuk semua aspek kayaknya bisa diterapkan sih. Karena kali ini saya hanya kasih contoh dari pengalaman keberhasilan saya untuk tidak adiksi kepada like, love dan comment teman-teman di media sosial.

Belum sampai sebulan saya uninstall Instagram, saya berhasil menyelesaikan buku 190 halaman dalam 3 hari. Yang sebelumnya tidak bisa saya kerjakan karena ter-distract oleh media sosial. Kedepannya, saya ingin setahap-demi-setahap lagi membiasakan membaca buku sebanyak mungkin, sebagai ganti dari aktifitas saya bersosial media di waktu-waktu nanggung seperti menunggu antrian, menunggu janjian dengan teman dan mengawas ujian.

Karena amanah semakin besar, maka kapasitas pun harus diperbesar.

Silmina Ulfah

Depok, 10 Desember 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *