Review Novel “Negeri di Ujung Tanduk” karya Tere Liye

Processed with VSCO with e1 preset

Novel kedua yang saya baca di tahun ini datang dari tulisan Tere Liye berjudul “Negeri di Ujung Tanduk”. Selepas baca, saya baru tahu kalau ini adalah buku kedua dari lika-liku perjalanan Thomas (tokoh utama novel ini).

Kendati demikian, saya masih dapat mengikuti alur cerita dengan baik, karena buku pertama, “Negeri Para Bedebah” itu, kayaknya ngerti tentang apa wkwk. Dalam novel tersebut, diceritakan penanganan kasus di sebuah lembaga keuangan yang bernama “Bank Semesta”. Yah, gimana yah, rada mirip dengan kasus dana talangan bank sebesar 6.76 Trilyun yang pernah rame itu tuh. Kalau kamu nggak tau, mungkin kamu belum lahir pas lagi rame-ramenya (hint: 2008).

Buku ini bercerita tentang seorang konsultan politik yang bernama Thomas yang dijegal oleh satu kekuatan “tak terlihat” ketika ia berjuang agar klien politiknya yang jujur dan bersih dapat lolos menjadi calon presiden dan kelak menjadi pemimpin negeri. Hambatan demi hambatan ternyata kian mengerikan setelah diketahui bahwa para “bedebah” ini memiliki kekuasaan di berbagai sektor. Bukan jenis kejahatan perkara orang per orang saja, tapi sudah melibatkan banyak sekali oknum bahkan dalam tubuh penegak hukum.

Paling ajaib. Baca buku ini tuh ya, kok nuansanya plek ketiplek banget dengan situasi politik menjelang pemilu ini yah. Novel ini rilis 10 tahun lalu (2013), dan dalam kurun satu dasawarsa itu, fenomena yang begitu nyata dan kayak bikin putus asa. #ehgabolehgitu #baik

Apakah benar “mitos” bahwa anusia akan serakah dan zalim ketika sudah berada di puncak kekuasaan? Apakah tidak ada lagi pemimpin yang punya nurani?Apakah kejahatan itu bisa ditumpas? Buku ini memberikan secercah cahaya dan cara-cara agar dapat merealisasikannya, lewat Thomas dan kawan-kawannya.

—-

Saya jadi setuju sama ungkapan seorang Novelis bernama Amy Tan, “Fiction is the best way to finding the truth“. Buku-buku fiksi yang semacam “Negeri di Ujung Tanduk” adalah sejenis buku yang perlu, atau sepatutnya ada. Guna membangunkan manusia-manusia yang tertidur, agar mulai peduli. Peduli adalah bahan bakar seseorang untuk mulai berjuang dan mengambil peran. Buku yang juga jadi pengingat, agar kita sebagai rakyat yang terpelajar wajib berani kritis dengan para pemimpin negara. Tidak mudah terbuai dengan “kemasan”, dan teliti terhadap langkah yang mereka jalankan.

Buku ini bagus sekali dibacakan terutama oleh para anak-anak muda yang hendak mewujudkan mimpinya. Agar kelak tidak memilih jalan yang salah. Jalan yang bau dan penuh kotoran. Jalan yang dibangun dari penderitaan umat. Jalan yang memanfaatkan kebodohan orang lain. Jalan culas pengecut dan pemalas. Jalan yang dari luar terdengar ingin “mencerdaskan bangsa”, tapi nyata-nyatanya justru “mengelabui dan memiskinkan bangsa”.

Novel setebal 300-an halaman ini disajikan dengan piawai oleh penulis dengan alur cepat. Tak terasa tahu-tahu kurun waktu beberapa hari saja, saya sudah bisa menamatkan novel ini. Bahasa yang dipakai cukup mudah dimengerti, selain ada memang beberapa bagian memunculkan istilah-istilah ekonomi. (tapi bagi kita pengguna smartphone, mudah untuk tinggal telusuri apa artinya, kan?).

Saya baru kali ini membaca buku novel Indonesia dengan tema ekonomi, politik, dan action sekaligus dan saya akui Bung Tere sangat berhasil membawakannya.

Kesan Ketika Membaca Buku ini (Sudut Pandang Orang Tua pada Anak)

Sepanjang membaca buku ini, saya sambil berdoa loh. Ih takut banget kalau kelak generasi kita bersinggungan dengan hal-hal ini. Saya sambil mendoakan anak-anak agar senantiasa ditunjukkan dan dimudahkan dalam jalan yang lurus. Bukan jalan yang hina.

Menguatkan diri pula untuk tidak tergiur dengan posisi-posisi jabatan “wah” tertentu. Menguatkan pandangan bahwa namanya jabatan atau profesi tertentu itu hadir bersama amanahnya. Bersama tanggung jawab dan kewajiban. Mulia tidaknya seseorang ditentukan dari ahlak dan keimanan, bukan dari “seragam” dan “surat keputusan”.

Karena saat saya sekolah dulu. Atmosfer yang dihadirkan adalah apresiasi dan sanjungan-sanjungan pada hal yang demikian. Penekanan kuat seolah bukan pada nilai-nilai, prinsip hidup, ahlak dan karakter melainkan berupa angka-angka pada slip gaji, pada bangunan megah, pada seragam yang necis, dan kendaraan yang ditumpangi.

Mengajarkan anak, bahwa rezeki itu, harus dijemput dengan cara-cara yang halal. Agar menjadi berkah tidak hanya bagi diri sendiri, namun juga bagi orang lain di sekitar kita.

Bahwa hidup itu harus punya mental petarung yang menjunjung harga diri dan kehormatan.

10 Desember 2023

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *