Review Novel “Negeri di Ujung Tanduk” karya Tere Liye

Processed with VSCO with e1 preset

Novel kedua yang saya baca di tahun ini datang dari tulisan Tere Liye berjudul “Negeri di Ujung Tanduk”. Selepas baca, saya baru tahu kalau ini adalah buku kedua dari lika-liku perjalanan Thomas (tokoh utama novel ini).

Kendati demikian, saya masih dapat mengikuti alur cerita dengan baik, karena buku pertama, “Negeri Para Bedebah” itu, kayaknya ngerti tentang apa wkwk. Dalam novel tersebut, diceritakan penanganan kasus di sebuah lembaga keuangan yang bernama “Bank Semesta”. Yah, gimana yah, rada mirip dengan kasus dana talangan bank sebesar 6.76 Trilyun yang pernah rame itu tuh. Kalau kamu nggak tau, mungkin kamu belum lahir pas lagi rame-ramenya (hint: 2008).

Buku ini bercerita tentang seorang konsultan politik yang bernama Thomas yang dijegal oleh satu kekuatan “tak terlihat” ketika ia berjuang agar klien politiknya yang jujur dan bersih dapat lolos menjadi calon presiden dan kelak menjadi pemimpin negeri. Hambatan demi hambatan ternyata kian mengerikan setelah diketahui bahwa para “bedebah” ini memiliki kekuasaan di berbagai sektor. Bukan jenis kejahatan perkara orang per orang saja, tapi sudah melibatkan banyak sekali oknum bahkan dalam tubuh penegak hukum.

Paling ajaib. Baca buku ini tuh ya, kok nuansanya plek ketiplek banget dengan situasi politik menjelang pemilu ini yah. Novel ini rilis 10 tahun lalu (2013), dan dalam kurun satu dasawarsa itu, fenomena yang begitu nyata dan kayak bikin putus asa. #ehgabolehgitu #baik

Apakah benar “mitos” bahwa anusia akan serakah dan zalim ketika sudah berada di puncak kekuasaan? Apakah tidak ada lagi pemimpin yang punya nurani?Apakah kejahatan itu bisa ditumpas? Buku ini memberikan secercah cahaya dan cara-cara agar dapat merealisasikannya, lewat Thomas dan kawan-kawannya.

—-

Saya jadi setuju sama ungkapan seorang Novelis bernama Amy Tan, “Fiction is the best way to finding the truth“. Buku-buku fiksi yang semacam “Negeri di Ujung Tanduk” adalah sejenis buku yang perlu, atau sepatutnya ada. Guna membangunkan manusia-manusia yang tertidur, agar mulai peduli. Peduli adalah bahan bakar seseorang untuk mulai berjuang dan mengambil peran. Buku yang juga jadi pengingat, agar kita sebagai rakyat yang terpelajar wajib berani kritis dengan para pemimpin negara. Tidak mudah terbuai dengan “kemasan”, dan teliti terhadap langkah yang mereka jalankan.

Buku ini bagus sekali dibacakan terutama oleh para anak-anak muda yang hendak mewujudkan mimpinya. Agar kelak tidak memilih jalan yang salah. Jalan yang bau dan penuh kotoran. Jalan yang dibangun dari penderitaan umat. Jalan yang memanfaatkan kebodohan orang lain. Jalan culas pengecut dan pemalas. Jalan yang dari luar terdengar ingin “mencerdaskan bangsa”, tapi nyata-nyatanya justru “mengelabui dan memiskinkan bangsa”.

Novel setebal 300-an halaman ini disajikan dengan piawai oleh penulis dengan alur cepat. Tak terasa tahu-tahu kurun waktu beberapa hari saja, saya sudah bisa menamatkan novel ini. Bahasa yang dipakai cukup mudah dimengerti, selain ada memang beberapa bagian memunculkan istilah-istilah ekonomi. (tapi bagi kita pengguna smartphone, mudah untuk tinggal telusuri apa artinya, kan?).

Saya baru kali ini membaca buku novel Indonesia dengan tema ekonomi, politik, dan action sekaligus dan saya akui Bung Tere sangat berhasil membawakannya.

Kesan Ketika Membaca Buku ini (Sudut Pandang Orang Tua pada Anak)

Sepanjang membaca buku ini, saya sambil berdoa loh. Ih takut banget kalau kelak generasi kita bersinggungan dengan hal-hal ini. Saya sambil mendoakan anak-anak agar senantiasa ditunjukkan dan dimudahkan dalam jalan yang lurus. Bukan jalan yang hina.

Menguatkan diri pula untuk tidak tergiur dengan posisi-posisi jabatan “wah” tertentu. Menguatkan pandangan bahwa namanya jabatan atau profesi tertentu itu hadir bersama amanahnya. Bersama tanggung jawab dan kewajiban. Mulia tidaknya seseorang ditentukan dari ahlak dan keimanan, bukan dari “seragam” dan “surat keputusan”.

Karena saat saya sekolah dulu. Atmosfer yang dihadirkan adalah apresiasi dan sanjungan-sanjungan pada hal yang demikian. Penekanan kuat seolah bukan pada nilai-nilai, prinsip hidup, ahlak dan karakter melainkan berupa angka-angka pada slip gaji, pada bangunan megah, pada seragam yang necis, dan kendaraan yang ditumpangi.

Mengajarkan anak, bahwa rezeki itu, harus dijemput dengan cara-cara yang halal. Agar menjadi berkah tidak hanya bagi diri sendiri, namun juga bagi orang lain di sekitar kita.

Bahwa hidup itu harus punya mental petarung yang menjunjung harga diri dan kehormatan.

10 Desember 2023

 

 

Resensi Novel “Twenty-Four Eyes : Dua Belas Pasang Mata” Karya Sakae Tsuboi

24 eyes 12 pasang mata

Sudah sekian tahun lamanya saya tidak membaca novel fiksi. Rasa-rasanya, kalah dengan rutinitas harian dan konten mikro yang infinite yang ditawarkan oleh media sosial. Beberapa waktu lalu, sengaja mampir ke perpustakaan di dekat stasiun MRT Nanshijiao (New Taipei) untuk sekadar melihat-lihat. Akhirnya secara acak saya ambil novel yang satu ini.

Saya tidak salah pilih. Buku ini begitu related. Terlebih dibaca saat pembantaian Gaza oleh Israel berlangsung. Suasana musim dingin di Taiwan, seolah menyempurnakan semuanya.

Buku ini bercerita tentang seorang guru muda yang ditugaskan mengajar di sebuah desa miskin dan terpencil. Kebanyakan masyarakat di desa ini berprofesi sebagai petani, nelayan, dan buruh. Guru muda itu menjadi guru kelas 1 dan dipanggil “Ms. Oishi” oleh ke-12 muridnya dengan karakter yang unik dan latar belakang yang berbeda-beda.

Miss Oishi (sang guru), diceritakan sebagai sosok yang memiliki karakter enerjik, observer, dan (ternyata) sentimental. Tampilannya yang modern (dari pakaiannya) menjadikan ia sebagai orang yang menarik perhatian masyarakat desa itu. Berangkat mengajar mengendarai sepeda, merupakan pemandangan yang tidak umum saat itu (apalagi sebagai perempuan).

Kehidupan di desa terpencil itu membuka mata hati Ms. Oishi, terlebih saat masa perang melanda Jepang. Masa-masa depresi dan krisis menyelimuti desa. Seolah untuk tersenyum pada masa-masa itu saja bisa dicurigai sebagai pengkhianat. Membaca buku sastra saja harus hati-hati, jangan sampai terafiliasi dengan gerakan-gerakan “merah” karena bisa berakhir mengenaskan.

Awalnya saya skeptis dengan begitu banyak tokoh yang dihadirkan dalam cerita. Namun ternyata disitulah letak keistimewaan buku ini. Dengan banyak karakter, penulis berhasil membuat gambaran yang terjadi dari berbagai sudut pandang masyarakat sipil yang terkena imbas perang.

Buku ini memang memiliki nuansa anti-perang, karena fokus menampilkan penderitaan (terutama anak-anak) yang gugur karena menjadi garda depan arena perang atau mereka yang akhirnya harus mengubur cita-citanya karena kondisi krisis. Ada anak-anak yang akhirnya harus “dijual”, ada yang harus mengurus rumah tangga di usia dini, dan kesengsaraan lain yang seharusnya tidak dialami oleh anak-anak.

Meski untuk detail perang tidak dijelaskan secara eksplist, saya sebagai pembaca bisa menerka-nerka, yaitu saat kekalahan Jepang akibat bom atom di Hiroshima. Bagaimana sosok Ms. Oishi  bahkan dinilai sebagai sosok yang “kurang” nasionalis oleh anak kandungnya sendiri karena sikap dan perkataannya. Seperti saat menunjukan penolakan ketika anak mereka yang masih hidup untuk bercita-cita menjadi tentara. (Suami Ms. Oishi gugur saat perang).

“Untuk apa dibesarkan (dididik dan diasuh), jika tujuannya adalah menjadi tentara dan mati?”, kira-kira begitulah pikiran rasional seorang Ibu yang sejak awal sudah melihat begitu banyak mimpi buruk akibat perang.

Buku ini ditulis dengan bahasa yang ringan (dan cukup bagus penerjemahannya). Sederhana namun penuh dengan momen-momen yang membuat tercenung saat membacanya. Kadang saya sampai baca beberapa kali tiap baris yang saya kira pantas untuk diulang sebagai bentuk penghormatan duka cita. Alur cerita cenderung lambat namun saya begitu menikmati nuansa nostalgia pada saat penulis menggambarkan suasana dan budaya di desa tersebut.

Jika anda pernah membaca Laskar Pelangi, maka kemungkinan anda akan menyukai juga buku ini. Buku ini memberikan inspirasi dan membangkitkan sisi kemanusiaan dalam diri. Beberapa kali saya dibuat menangis dalam kisah-kisah yang dialami oleh anak-anak dalam buku ini, karena paham bahwa kepiluan ini bukan sekadar karangan belaka, melainkan juga terjadi di dunia nyata.

Alur lambat yang dihadirkan dalam buku ini barangkali seolah memberikan jeda untuk kita mengheningkan cipta bagi para pejuang dan orang-orang tak bersalah yang wafat dalam perang. Akhir cerita buku ini pun disajikan dengan hangat dan pas, tidak dilebih-lebihkan.

Saya berharap buku ini bisa menjadi salah satu buku yang mengisi waktu luang anak-anak milenial, generasi Z, dan Alfa. Untuk memberikan gambaran pada mereka yang lahir saat Indonesia sudah merdeka, bahwa perang bukanlah hal yang biasa-biasa saja, atau hanya legenda belaka yang cuma perlu diingat tanggal-tanggalnya.

Selasa, 5 Desember 2023

 

Review Buku “Memilih” karya Ayu Primadini

A432F10C-2F1D-4B54-8C93-EB5A39DD95D1
Buy a book by it’s writer!

Membeli buku gara-gara penulisnya, yaitu . Ya, buku ini saya baca karena yakin isinya menarik.

Tahu penulisnya karena tahun lalu memang sedang suka mempelajari pemikiran dan metode Charlotte Mason yang cukup populer di kalangan pesekolah rumah (homeschooler).

Jadi ceritanya, penulis buku ini merupakan host di podcast Charlotte Mason Indonesia (CMID) yang menurut saya, selalu berhasil memberikan narasi, memantik diskusi dengan pertanyaan-pertanyaannya yang menggugah.

Ternyata saya tidak keliru. Buku ini kemudian menjadi buku pertama saya baca sampai habis di Tahun 2023. Barangkali, ini jenis buku yang bisa dihabiskan dalam sekali duduk di komuter Bogor-Kota. Tipe buku yang asyik banget buat bekel di kafe sendirian.

Berisi esai reflektif tentang pekerjaan sejati manusia yaitu “memilih”. Di era penuh distraksi seperti sekarang ini memang kerap membuat kita menjalankan hidup tanpa sadar. Semua berjalan otomatis. Bangun tidur langsung raih ponsel untuk cek notifikasi. Seolah setiap keputusan dilakukan secara impulsif tanpa mau melihat motif dibalik pilihan-pilihan tindakan kita.

Lihat teman berlibur ke eropa, jemari auto buka penyedia tiket pesawat untuk ikutan cek harga. Lihat anak teman ikut kursus, besoknya ikutan juga. Kita merasa dikejar-kejar dan tak rela ketinggalan hal kekinian.

Ada pula yang merasa “memilih” untuk menjadi “anti-mainstream”. Padahal jika dipikir mendalam, bukankah keputusan menjadi anti-mainstream itu sendiri karena pengaruh hal mainstream. Ingin beda dari yang kebanyakan. Artinya, memilih melakukan karena ingin pembuktian bahwa “saya berbeda”. Memilih bukan karena kebutuhan diri, tapi karena ikut arus eksistensi.

Kita enggan mengambil jeda untuk mengupas “strong why” dalan tiap keputusan yang diambil. Mengapa demikian? Tentu saja karena kenyataan tidak selalu menyenangkan. Kita akan bertemu dengan kerapuhan diri yang selama ini tidak ingin kita terima dan akui.

FDB884DD-A395-45CF-BD2C-77A1EB0518C9

Banyak sekali hal yang sepemikiran alias relate dengan kehidupan saya. Jenis buku yang kadang sampai heran, oh ternyata seringkali manusia punya inner voice yang kurang lebih sama.

Buku ini berhasil mengingatkan saya untuk tidak bosan-bosan meluangkan waktu untuk evaluasi dan refleksi diri.

Juga tentang gagasan-gagasan yang mencerahkan tentang konsep pasangan hidup bukanlah belahan jiwa. Karena jika cuma sebelah, kita akan merasa pasanganlah yang membuat kita utuh. Kadang jika demikian, akan berbahaya karena artinya kita selalu merasa kurang dan menuntut pasangan untuk sesuai dengan ekspektasi.

Kita adalah manusia yang utuh. Adapun peran pasangan, adalah untuk bisa bertumbuh bersama untuk tujuan yang satu. Sahabat yang selalu mengingatkan dan partner dalam menjalankan amanah hidup.

Ada bagian-bagian menarik semisal bicara tentang otoritas. Apakah ada kondisi dimana manusia tidak punya pilihan? Bahwa pasti pernah kita gemas sekali jika ada teman yang curhat bahwa hidupnya menderita, tapi dia tak juga pindah atau berusaha keluar dari lingkungan itu.

Ia bilang, tak punya pilihan. Padahal tiap pribadi selalu punya ruang otoritas jika ia mau dan berani. Hanya perlu mengupas diri lebih dalam, mengurai rasa takut dan cemas yang menghantam pikiran.

Semua pemikiran mendalam ini dituliskan dengan bahasa yang sederhana dan mengalir adanya. Saya suka sekali pemilihan diksi yang digunakan penulis.

Buku setebal 127 ini memuat 16 esai pendek yang akan membuat kalian berujar, “oh iya juga ya..”.

Hal yang paling nyata adalah tentang realita media sosial dan teknologi yang sekarang membuat kehidupan seperti sibuk tak berujung. Makin banyak hal yang (seolah) harus dikejar dan silaturahim maya yang kian menggerus sistem sosial kemasyarakatan kita.

Kita merasa perlu “keep in touch” dengan sahabat yang jauh di sana. FOMO dengan unggahan-ungahan mereka, namun abai dengan yang ada di depan mata. Kualitas koneksi menurun dan cenderung dangkal.

Lagi-lagi, barangkali keruwetan hidup kita ini biang keroknya karena tiap keputusan yang diambil sehari-hari tidak lagi didasari oleh intensi sadar dan motif mendalam.

Semisal, memilih pakaian hanya karena kekinian. Enggan memilih karena ketinggalan zaman padahal nyaman dikenakan. Kegiatan memilih yang kemudian dilandasi penilaian orang, bukan penilaian sendiri.

Memilih jurusan kuliah hanya karena kampusnya negeri, meski di tempat yang tak sepenuhnya dimengerti karena yang penting sedikit pesaingnya.

Di ujung perjalanan kemudian mengapa hidupku begini. Padahal sejak awal tak mau dengarkan diri sendiri. Sejak kecil terbiasa untuk mengikuti apa yang tenar, bukan yang benar.

Oh iya, di dalam bukunya juga penulis suka menyampaikan kutipan-kutipan dari buku yang beliau baca. Saya paling suka baca yang seperi ini karena serasa sakali dayung dua pulau terlampaui.

Ini tu modelan buku yang cocok banget buat kado adik-adik kita yang lagi mau belajar baca buku non fiksi. Kayak buat kasih nasehat tapi caranya alus, karena isinya banyak petuah-petuah yang bakalan relate sama generasi milenial, Z, dan alfa.

 

Taipei, 6


Maret 2023

Review Buku Membasuh Luka Pengasuhan | Ngajak Diri Buat Jadi Orang Tua Saleh

membasuh luka pengasuhan

Membasuh Luka Pengasuhan adalah sebuah karya yang ditulis oleh pasangan suami istri, yaitu: Ulum A. Said dan Febrianti Almeera.  Buku ini dibuat atas dasar kepedulian. Karena topik tentang “Luka batin akibat kekeliruan pengasuhan (yang kebanyakan tidak disengaja)” ini dirasakan oleh begitu banyak orang.

“Luka pengasuhan adalah luka di sisi rasa (bisa juga akibat luka fisik yang berdampak pada rasa) yang diterima anak dari orangtuanya.”

***

Kalau nggak salah, inti bahasan yang bikin tertarik adalah pendapat bahwa:

“Kekeliruan pola asuh kebanyakan memang bukan disengaja, tapi diwariskan”

“Luka pengasuhan adalah ‘utang’ yang perlu dibayar meskipun dengan cara berangsur”

Nah, tinggal berarti kan untuk mutus rantai itu kita perlu sadar dan mau belajar supaya nanti nggak turun ke anak cucu.

***

Buku ini menjelaskan mengapa kita harus membasuh luka pengasuhan dengan rinci melalui dua sudut pandang, yaitu: Emosi dan Alquran.

Buku ini dibuka dengan penjelasan tentang mengapa yang namanya luka pengasuhan itu harus “ditangani”. Jadi nggak bisa tuh istilah, “yaudahlah ya, itu dulu, udah lewat”, lalu (pura-pura) melupakan dan enggan membahas karena merasa sudah selesai dan akan sembuh dengan sendirinya.

Ternyata, yang namanya luka pengasuhan itu sejenis luka batin. Kalau dalam bahasa psikologi, masuknya “mental illness”. Dampaknya luas banget kalau tidak ditangani. Di bagian ini, saya tertarik dengan pembahasan mengenai “Respon Error”.

Respon Error

Kalau dari segi emosi, itu ternyata karena si luka pengasuhan yang pernah kita alami entah saat kita kecil atau sudah dewasa dari orang tua kita itu nantinya bisa membuat seseorang mengalami respon error.

“Respon Error adalah respon yang tidak sebanding dengan stimulusnya.”

Kalau di buku diceritakan pengalaman waktu penulis mengalami kejadian ketika sang istri tiba-tiba berteriak, menangis, memukul, dan bahkan melempar-lempar barang lain saat melihat suami melemparkan handphone ke atas kasur. Padahal, ternyata respon sang istri itu, diakibatkan dari trauma yang ia pernah alami waktu kecil.

Contoh lain dari respon error adalah ketika ada suami yang selalu tercekat ketika sedang adu pendapat dengan istrinya. Padahal ia punya ilmu leadership dan paham bahwa ia adalah kepala keluarga. Tapi ketika sudah dalam situasi serius untuk mengeluarkan argumen, ia gagal. Simulusnya adalah adu pendapat.

“Luka yang diabaikan, berpotensi menjadi respon error”

Saya kira, di BAB 1, penulis berhasil memberikan penjabaran yang sangat lengkap tentang urgensi hal pembasuhan luka pengasuhan. Satu hal yang menarik adalah gaya penceritaan dalam bentuk dialog dan penggunaan kata-kata sederhana, namun membekas dalam hati.

Penjabaran Upaya Pembasuhan Luka Pengasuhan

Penulis mampu mengantarkan pembacanya pada solusi yang bisa ditempuh dari dua sudut pandang, emosi dan Alquran. Kalau dari sisi emosi, kita bisa menggunakan terapi DEPTH. Sedangkan dari sisi Quran, yaitu dengan Tazkiyatun Nafs.

Terapi DEPTH adalah metode “penyembuhan” dengan cara mengakses memori traumatis yang tersimpan di beberapa titik-titik tubuh. Memori yang dimaksud memiliki muatan emosi negatif seperti: sedih, marah, murka, muak, kesal, merasa bersalah, jijik, dan lain sebagainya.

Penulis buku sangat rinci membahas tentang BAGAIMANA cara membasuh luka pengasuhan dengan teori DEPTH. Meski dijelaskan juga, bahwa butuh upaya lain untuk betul-betul “bersih” dari hambatan dan sumbatan emosi negatif (trauma).

Minimal, kita jadi bisa menghancurkan bongkahan besar emosi negatif. Pas baca buku ini awal-awal, saya sangat emosional karena buku ini membawa diri para cuplikan peristiwa masa kecil.

Contoh Kisah Proses Penyembuhan Luka Pengasuhan

Kita para pembaca juga diberikan kesempatan untuk belajar memetik hikmah dari para pembasuh luka. Ya, pada BAB 3, kita akan mendapatkan tiga kisah nyata tentang bagaimana mereka melewati luka batin yang ditorehkan oleh orang tua mereka. Saya salut sekali, karena pasti tidak mudah untuk menceritakan ulang hal yang mungkin sebagian orang anggap tabu untuk dibahas.

Sudut Pandang Alquran (Tafsir)

Bagian dari buku ini yang paling menjadi favorit saya adalah tiap penulis mengurai makna berdasarkan Alquran. Contohnya adalah pada saat penjelasan mengenai makna “UFF” yang ada pada Surat Al-Isra ayat 23. Selama ini mungkin saya hanya berfokus bahwa yang namanya berkomunikasi ke orang tua itu cukup dengan tidak berkata kasar atau bilang “Ah!”. Tapi dalam buku ini saya mendapat keterangan lebih lanjut dan sudut pandang menarik tentang jangkauan makna “UFF/Ah”.

Contoh lainnnya adalah saat penulis menjelaskan makna “rasa” dan “emosi” di Alquran. Bahwa Alquran membahas soal perasaan sekaligus perilaku yang muncul akibat rasa tersebut. Misalnya:

  1. Perubahan degup jantung (QS. Al-Anfal [8]:2)
  2. Reaksi kulit (QS. Az-Zumar [39]:23)
  3. Reaksi pupil mata (QS. Ibrahim [14]:42)
  4. Reaksi pernafasan (QS. Al-Hijr [15]:97

Dan seterusnya.

Intinya, ketika menjelaskan ini kemudian penulis memberikan kesimpulan indah yaitu bahwa yang namanya perasaan disimpan dalam satu ruang bernama Qalbu. Berbeda dengan kebanyakan teori (emosi dan perasaan  disimpan dalam pikiran sadar atau bawah sadar).

Qalbu mampu menampung apa-apa yang disadari oleh pemiliknya. Sementara, untuk menampung apa-apa yang tidak disadari oleh manusia, wadah di dalam dirinya  itu disebut dengan Nafs. Nafs sendiri adalah hasil bertemunya unsur jasad dengan ruh (fisik dan spirit).

Lalu apa hubungannya dengan luka pengasuhan?

Begini, dari penjabaran tersebut, bahwa manusia itu punya dua unsur. Sedang dalam Quran dijelaskan bahwa dalam hidup ini, ada dua jalan: Fujuur dan Taqwa. Jalan Fujuur (keburukan) itu amat disukai oleh jasad kita (berkaitan dengan kenikmatan dunia), sedangkan Taqwa (kesalehan) itu disukai oleh Ruh kita.

Keduanya saling tarik menarik. Dalam konteks luka pengasuhan, tak heran jika akan sangat mudah bagi anak untuk menyalahkan orang tuanya atas luka yang terimanya di masa pengasuhan. Sebagian malah ada yang “menikmati” alias tidak melakukan apa-apa ketika menjadi korban luka asuh orang tuanya.

Makanya, namanya memaafkan orang tua atau proses membasuh luka ini sangat sulit dilakukan. Karena ini memang jalan taqwa. Tapi jangan khawatir, dalam Alquran pun dijelaskan bahwa yang namanya Nafs ini punya kekuatan internalnya sendiri. Buku ini memberikan solusi, bahwa untuk “mengobati” diri adalah dengan Tazkiyatun Nafs.

Secara keseluruhan, saya sangat menikmati penjabaran makna luka pengasuhan (batin) yang disajikan dengan sistematis, mulai dari “why, what, dan how-nya”. Saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca oleh teman-teman yang mungkin saat ini sedang mempersiapkan pernikahan, melahirkan, atau bagi siapa saja yang ingin berusaha terlepas dari bayang-bayang luka masa pengasuhan serta tidak ingin mewariskannya ke generasi berikutnya.

Rating buku : 9/10

 

Ngapain Sih Emak-Emak Baca Buku Filosofi Teras? [Sebuah Review]

review_filosofi_teras_henry_manampiring

Filosofi Teras bagi saya merupakan buku self-improvement berbasis filsafat stoikisme. Bisa dibilang, buku ini banyak memberikan inspirasi dan ilmu yang berguna banget buat keseharian saya sebagai emak-emak. Alasan paling utama ya seperti yang dijelaskan di BAB 9 dalam buku ini:

“Parenting adalah memilih untuk berdamai dengan hal-hal yang tidak bisa kita kontrol”.

Saya langsung membayangkan peristiwa ketika anak sakit, anak menumpahkan tepung roti, memecahkan gelas kaca, terjatuh, ketika mereka tidak mau makan, dan banyak hal lainnya.

Saya mengapresiasi sekali kehadiran buku ini. Bagi orang yang hampir tidak pernah membaca buku filsafat, saya jadi ingin menyelami “kitab-kitab” stoic lainnya, terutama karya Marcus Aurelius yang berjudul “Meditations“.

Kenapa buku ini ditulis?

Buku ini dibuka dengan data survei nasional yang berkaitan dengan anxiety alias kecemasan. Penulis melakukan wawancara dengan seorang pskiater bernama  dr. Andri, Sp.KJ, FAPM. Intinya sih ya memang yang namanya penyakit itu bisa disebabkan atau diperparah dengan kondisi psikis kita.

Kenapa ngomongin kecemasan? coba telisik deh penyebab kecemasan? ternyata ya emang karena cara pandang kita yang keliru ketika lagi menghadapi masalah.

“Bukan stres yang membunuh kita, tapi reaksi kita terhadapnya”, kutipan dari Hans Seyle (Hal. 9)

Buku ini juga ditulis tanpa menggurui, jelas dong, wong ini buku sebetulnya isinya sharing alias berbagi pengalaman sang penulis. Mengapa? karena penulis sendiri bilang bahwa stoisisme ini lah yang menjadi solusi alternatif dalam mendapatkan ketenangan yang lebih baik pasca-terapi obat. Ya, penulis pernah mendapat diagnosa “Major Depressive Disorder“.

Buku Filosofi teras ditulis dengan gaya bahasa sederhana dan mudah dicerna. Kalau saya bilang, buku ini cocok banget kalau dijadiin hadiah mulai dari adik-adik kita yang berusia remaja. Salah satu yang membuat buku ini unik dan tidak kelihatan “berat” (karena bahas filsafat) adalah dengan adanya ilustrasi komik dan halaman quotes. Lumayan nih buat yang gaya belajarnya visual, jadi nggak terlalu cepat bosan.

Hidup Sesuai dengan Fitrah

review_filosofi_teras_henry_manampiring_stoic

Saya selalu bersemangat ketika ada pembahasan bahwa dalam hidup ini sebetulnya tuh kita tinggal ikutin aja “irama” nya yang Allah udah kasih. Kenalin diri, gali potensi, lalu berkarya sesuai dengan fitrahnya melalui misi hidup. Kalau di buku ini, Bab-nya dinamain “Hidup selaras dengan Alam”.

Bahwa kita nih manusia punya fitur unik berupa akal dan rasio. Lalu secara alamiah (qadarullah), manusia adalah mahluk sosial. Otomatis (seharusnya) bisa hidup damai dan sejahtera bersama-sama. Orang nyebelin mungkin akan tetap ada, tapi kenegatifan dia harusnya nggak akan membuat diri kita jadi nyebelin, kan? Kalau kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib:

“Yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan”. – Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Trus dalam kehidupan ini, ada istilah Butterfly Effect, kita manusia dan alam punya keterkaitan. Kalau di hadist ada ungkapan bahwa sesama muslim itu ibarat badan. Sistem. Masing-masing udah ada peruntukan perannya. Jadi kalau ada satu partikel yang nggak sesuai dengan ketetapan alam, ya pastinya ngefek ke semuanya, ke semesta.

Pas di bagian ini, saya bener-bener geleng-geleng kepala takjub mengingat materi rukun iman ke-6, yep. Iman kepada Qada dan Qadar.

Dikotomi Kendali

Premis buku ini menurut saya bisa diwakilkan dengan dua kata ini. Ya, dikotomi kendali.

“Some things are up to us, some things are not up to us” – Epictetus

Ada hal yang bisa kita kontrol, ada juga hal yang nggak bisa kita kontrol. Kelahiran kita di dunia aja bukan maunya kita, kan?. Jadi dengan pemahaman ini, akhirnya saya bisa lebih tenang dalam membuat perencanaan dan membuat keputusan. Fokus saja kepada hal yang bisa kita kendalikan.

Pemahaman ini tuh seperti memberikan validasi atas iman kepada Qada dan Qadar. Allah sudah memberikan ketetapan dan kadar tertentu pada segala sesuatu. Kita hanya harus tawakal dari awal, saat mengerjakan, dan setelah mengerjakan. Allah membuat keputusan, tapi manusia diberikan ranah tersendiri untuk berikhtiar “mengendalikan sesuatu”.

Kita nggak bisa kendaliin hal-hal yang ada di luar diri kita. Kabar baiknya, kita masih punya kekuasaan penuh atas apa yang kita pikirkan, apa yang kita pakai, apa yang kita makan, apa yang kita kerjakan.

Dikotomi kendali ini nggak ngajarin pasrah (diem-diem bae nggak usaha), ya. Justru penegasannya adalah mengoptimalisasi ranah ikhtiar diri.

Pengingat untuk Mengenal Diri

review_filosofi_teras_henry_manampiring_stoisisme

Seberapa sering kita langsung reaktif ketika ada hal yang tidak sesuai ekspektasi atau hal yang membuat diri ini marah, kecewa, cemburu, iri, dan emosi negatif lainnya? Nah, dalam buku ini ada bab tentang “Melawan Interpretasi Otomatis”. Misalnya, waktu macet parah dan kita ada meeting penting banget. Mungkin seringnya kita bakalan nggrundel dalam hati, marah-marah, atau nyalahin kondisi dan ngerasa kalau udah buang-buang waktu di jalan.

Filosofi Teras mengajarkan untuk tidak buru-buru terhanyut dalam respon otomatis berupa emosi negatif, tapi kita diajak untuk memeriksa kembali apa fakta yang terjadi. Macet. That’s it.  Bukan hal yang baru dan khusus dirancang untuk kita seorang.

Apa dengan frustasi dan marah-marah akan membuat jalanan lancar kembali? tentu saja tidak. Ingat, kita tidak bisa mengendalikan macet, yang kita bisa kendalikan adalah interpretasi atau cara pandang kita ketika terjebak macet. Misalnya saja, “wah lumayan nih bisa baca buku”, “wah lumayan bisa nyicil tulisan”, “wah lumayan bisa dengerin podcast”.

Ngajakin Hidup Berkesadaran

Ada kalimat begini:

“Orang yang gampang cemas adalah orang yang punya kecenderungan bahwa ia tidak bisa mengontrol sesuatu”. (Hal 115)

Iya juga sih ya. Mungkin kebanyakan dari kita ketika menjalani setiap detik kehidupan tuh cemas akan masa yang akan datang dan atau justru tenggelam dalam penyesalan atas apa yang sudah terjadi. Kalau kata Seneca,

“We suffer more in imagination than in reality” (Letters)

Kita sering nyiksa diri dengan karangan pikiran kita sendiri. Padahal ada studi tentang Anxiety yang bilang bahwa 85% kekhawatiran kita itu sebenernya nggak pernah terjadi. Penelitian ini menyuruh responden buat nulisin kecemasan mereka dan di akhir periode, mereka diminta buat ceklis mana-mana aja yang kejadian.

Seneca bilang:

“Kita memiliki kebiasaan membesar-besarkan kesedihan. Kita tercabik di antara hal-hal masa kini dan hal-hal baru yang akan terjadi. Pikirkan apakah sudah ada bukti yang pasti mengenai kesusahan masa depan. Karena sering kali kita lebih disusahkan kekhawatiran kita sendiri.”

Pandangan ini bener-bener ngingetin lagi buat hidup mindful. Membersamai diri sendiri, secara utuh, hadir jiwa, raga, dan rasa dalam setiap tindakan dan pergerakan.

Cosmic Point of View alias Efek Melihat dari Jauh

Saya jadi inget nasehat salah satu guru silat dulu, namanya (Alm) Mas Nungki. Waktu itu saya sedang menghadapi masalah yang berat.

“Coba deh, sekarang bayangin Ulfah terbang nih ya ke angkasa, trus lihat bumi sampai kelihatan kecil banget”.

Nasehat yang nggak pernah saya lupa dan pas baca ni buku sampai ke halaman 106, ternyata itu merupakan bagian dari ajaran filosofi teras. Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Marcus Aurelius. Intinya sih coba deh bayangin aja, apa masalah kita ini lebih besar dibanding bumi itu sendiri dan segala dinamikanya? Kalau kata nasehat-nasehat di postingan akun dakwah. “Aku punya masalah besar, tapi kan Aku punya Allah yang Maha Besar”.

Sampe-sampe, mantan astronot bernama Becky Ferreira bilang, “Saya sungguh percaya jika saja para pemimpin bangsa-bangsa bisa melihat plane mereka dari jarak 100.000 mil, maka perspektif mereka akan berubah drastis”.

Nah kalau udah gini, kita (harusnya) bisa lebih santuy misal ngadepin anak nggak mau udahan mandinya, suami lembur mulu (jadi nggak bisa tag team), cucian lupa dijemur semaleman, baju kelunturan dan masalah domestik rumah tangga lainnya.

Bikin Inget Mati

Saya demen banget ini, di Bab 11 ada pembahasan tentang kematian. Saya jadi inget kajiannya Ust. Oemar Mitta pernah bilang kalau mengingat mati adalah bagian dari ibadah. Nginget mati bener-bener bisa jadi tools buat evaluasi segala ambisi yang kita punya.

Kita sering denger orang bilang, “Ih nggak berasa ya, cepet banget”, “kayaknya waktu 24 jam kurang buat gue”, “gue rasanya pengen membelah diri”.

Seneca pernah bilang:

“Life is long if you know how to use it…we are not given a short life but we make it short..and wasteful of it.” (On Shortness Life”

Seneca juga bilang kalau yang jadi persoalan itu bukan masalah lama sebentarnya waktu hidup kita, tapi gimana kualitas hidup kita sendiri.

Mindset ini ngebantu banget buat ngurangin kekhawatiran yang sering menyerang kita. Ngebantu juga buat milih-milah prioritas dalam hidup. Ngevaluasi mimpi yang kita kejar, apakah yang kita kejar itu sebetulnya cuma angka-angka semata alias harta? tahta? popularitas? ingin dikenang? padahal ujung-ujungnya toh kita akan mati dan terlupakan.

Make sense banget ini. Sebut nama orang yang paling kalian anggap terkenal. Sesungguhnya pasti ada aja orang yang nggak kenal dia. Marcus Aurelius bilang:

Orang-orang yang sangat menginginkan dikenang sesudah mati lupa bahwa mereka yang akan mengenangnya pun akan mati juga. Dan begitu juga orang-orang sesudahnya lagi. Sampai kenangan tentang kita, diteruskan dari satu orang ke yang lain bagaikan nyala lilin, akhirnya meredup dan padam. – Marcus Aurelius (Meditations)

Overall, buku ini layak banget baca sih. Kalau ditanya rate-nya berapa, saya bakalan kasih 8.5/10 karena kontennya segar dan resonated banget sama kehidupan sehari-hari. Plus, bisa langsung dipraktekkan pula ilmu-ilmunya.

Sekian dulu review saya. Kalau favorit teman-teman yang mana?b

Pengalaman Pertama Kali Bekam dan Refleksi di Salon Muslimah Farras Depok

PenampakanSalon dari depan
Penampakan Salon dari depan

Jadi ceritanya setelah lahiran anak ke-2, saya belum pernah urut atau pijat-pijat gitu. Trus pas balik ke Indonesia emang uda diniatin mau bekam sama pijat, apalagi pas landing, ni badan sempet drop banget. Ngerasain deh tuh namanya radang tenggorokan, batuk, dan pilek.

Mungkin ini yang namanya jetlag, ya?, dari yang iklim musim dingin menuju Indonesia yang istilahnya lagi pancaroba.

Singkat cerita, mulailah saya gugling-gugling cari tempat bekam di Depok. Cari yang nggak jauh dari rumah ortu karena nanti kudu nitip anak-anak biar nggak usah dibawa. Nemu lah di instagram, namanya Salon Muslimah Farras.

Spanduk Depan
Spanduk Depan

Pagi reservasi online dulu biar nanti di sana nggak menunggu terlalu lama. Admin reservasi ramah, fast respon, dan informatif. Saya ditanyakan mau treatment apa. Ternyata ini untuk memastikan dengan terapis yang melakukan bekam. Setelah konfirmasi, ternyata saya diberi tahu untuk datang jam 10 pagi.

Salon ini buka mulai jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Konsep salon ini terbilang unik, karena selain untuk muslimah, treatment juga ditawarkan bagi anak-anak (bahkan mulai dari pijat bayi).

Saya ditangani oleh bu Halimah. Orangnya ramah, tangannya lembut tapi kalau sudah mengurut, ga tau kenapa berasa banget. Bukan tipe yang keras menyakitkan. Alhamdulillah cocok sama yang tipe seperti ini. Selidik punya selidik, kata beliau sih kalau kita totok atau urut di titik yang benar, ya emang efeknya begitu. Titik-titik yang dimaksud adalah titik meridian.

Foto Sama Owner Salon
Foto Lubna Sama Owner Salon

Saya sampai penasaran kenapa tangannya bisa halus begitu. Dikasih tipsnya, pokoknya sering-sering menggosok tangan menggunakan ampas kopi, teh, saat cuci beras, kulit buah, biji-bijian buah (pepaya misalnya), nasi basi (pas misal ketemu nasi sisa yang mau dibuang). Menggosok tangan seperti meremas-remas saat mencuci beras. Kalau di dunia per-skinker-an, mungkin tujuannya adalah exfoliating, alias menghilangkan sel kulit mati yang menumpuk di tangan.

Daftar "Menu" Salon
Daftar “Menu” Salon, kalau paket-paket bisa liat di instagramnya

Treatment Bekam dan Refleksi Kaki

Oh ya, sembari dibekam, saya juga mengambil treatment refleksi kaki. Durasi untuk kedua treatment jika ditotal  sekitar satu setengah jam. Proses bekam, terapis sangat telaten, dimulakan dengan basmalah dan selalu mengonfirmasikan kepada saya apa tarikan angin pada cup bekam terlalu keras atau tidak. Ya intinya, sangat nyaman lah sebagai orang yang baru pertama kali nyobain bekam sampai dikeluarkan darahnya gitu.

Saya mengambil treatment refleksi kaki karena bekam tidak bisa digabung dengan pijat full. Supaya menghemat waktu, saya gabungan prosesnya saja. (maklumlah ya, nitip dua bocah di rumah, hehe).

Pijat Bayi (pules banget si Lubna)

Karena sudah cocok sama terapisnya, akhirnya keesokan harinya saya membawa Lubna (9 bulan) ke salon ini. Saya ambil treatment pijat bayi. Saya udah degdegan aja, khawatir bakalan nangis-nangis jengker gitu. Ternyata MasyaAllah, mbak Halimah (terapis), ngajakin kenalan dulu dong. Tujuannya biar nggak asing dan si baby nyaman.

Kata beliau, namanya anak itu jangan dipaksa. Nanti yang ada malahan trauma dan nggak mau lagi badannya diurut. Soalnya kan emang tujuan pijat kan biar rileks, kalau ada unsur paksaan, mungkin si bayi malah tambah sakit-sakit badannya.

Iya juga sih, saya lihat si bayi nyaman aja gitu. Ya paling menggeliat-geliat aja kalau ada beberapa titik yang dirasa emang lagi pegel/sakit. Posisi ngikutin nyamannya bayi. Karena pas itu jam tidur paginya Lubna, akhirnya saya pun sambil nyusuin juga (si bayi uda ngantuk dan minta nyusu).

Alhamdulillah, pengalaman pertama Lubna pijat juga berlangsung nyaman dan lancar  jaya. Lubna pun tidur dengan pulesnya.

Wedang Jahe Abis Treatment
Wedang Jahe Abis Treatment

Ada juga beberapa hal positif yang saya suka dari pengalaman pijat di Salon Depok ini, seperti:

  1. Tempat cukup bersih dan nyaman, meski sekat hanya berupa horden.
  2. Tempat parkir motor cukup luas (muat untuk 1-2 mobil sepertinya).
  3. Staf-nya ramah
  4. Ada wedang jahe yang nikmat
  5. Terapis berpengalaman dan juga mengedukasi kita sebagai pelanggan dalam beberapa hal terutama titik-titik yang bisa dipijat sendiri untuk sehari-hari.
  6. Reservasi mudah, via whatsapp
  7. Treatment bervariasi, mulai untuk kecantikan maupun kesehatan
  8. Jual snack ringan dan beberapa produk
  9. Harga relatif terjangkau untuk bekam dan pijat
  10. Ramah anak (bayi), terapis membuat bayi nyaman dan tidak trauma.
  11. Ambience keshalihan berasa, keliatan dari staf ramah sama audio murotal Quran.
Ruang Treatment Pas Saya Bekam dan Refleksi Kaki
Ruang Treatment Pas Saya Bekam dan Refleksi Kaki

Adapun kekurangannya hanya seputar titik google maps yang tidak sesuai dengan di lapangan (akhirnya saya minta shared live location ketika menuju tempat tersebut).

WhatsApp Image 2020-01-14 at 10.46.00 PM WhatsApp Image 2020-01-14 at 10.46.01 PM (1) WhatsApp Image 2020-01-14 at 10.46.01 PM

Ruang Tunggu
Ruang Tunggu

WhatsApp Image 2020-01-14 at 10.45.56 PM (2) WhatsApp Image 2020-01-14 at 10.45.57 PM

Itulah pengalaman saya melakukan bekam, refleksi kaki, dan pijat bayi di Salon Muslimah FARRAS, Tanah Baru, Depok. Ada yang punya tempat andelan lain buat pijat atau spa? mau doong. Semoga pengalaman ini bisa bermanfaat ya moms.

 

Review Buku Cerita Anak : Beruang Bilang Maaf

Sampul Buku
Sampul Buku

 

Emang dah kalau ngomongin wacana, banyak banget yang pengen dikerjain. Salah satunya pengen bikin vlog yang isinya review buku-buku anak sambil read a loud gitu, kehidupan di Taiwan dan seterusnya.

20190515_112921kita

Tapi ya gimana, bisa laptopan nunggu jam 11 malem minimal atau sebelum jam 6 pagi. Pegang hape aja gabisa lama (taro hape diatas kulkas dan diliat secara berkala aja, ngetik-ngetik gini nunggu anak pada merem).

20190515_113022

Yaudah, kerjain yang sebisanya aja dah. Nulis review ini buat gambaran temen-temen yang kali aja lagi cari referensi buku buat anak-anak atau mungkin buat didonasiin ke taman baca @rumahbelajarkita (ngiklan dikit).

REVIEW

– Buku ini bisa dipake buat ngenalin konsep minta maaf. Nggak banyak tulisan, cocok buat anak dibawah satu tahun. Ide cerita bisa dikembangkan ke banyak hal.

20190515_113039

– Misalnya, abis kita minta maaf kita bantu beresin kekacauan yang dibuat.

– Warna buku berwarna-warni, bisa tebak-tebakan warna.

– Objek-objeknya variatif dan tergambar dengan warna-warna solid, bisa buat tebak-tebakan misalnya nama buah-buahan dan benda.

SINOPSIS

20190515_113058

Si Anak beruang ceritanya main sepeda di dalam rumah. Pas lagi seru main muter-muter gitu, dia nabrak ibunya yang lagi bawa buah-buahan. Sang ibu menasihati dan anak beruang pun minta maaf sembari membantu memungut buah.

Anak beruang kembali bermain sepeda. Kali ini ia menabrak ayahnya yang lagi bawa tumpukan kertas. Sang ayah menasihati dan anak beruang pun meminta maaf sambil membereskan kertas yang tercecer.

Setelah itu anak beruang melanjutkan main sepeda ke halaman rumah.

Penerbit : Pelangi Mizan
Penulis : Benny Rhamdani
Illustrator : Syarifah Tika

#reviewbukuanak #resensibukuanak #bukuceritaanak #boardbook #beruangbilangmaaf

[REVIEW] Dove Original Light & Smooth Deodorant – Home Tester Club

Pas banget deodorant spray habis dan saya kepikiran buat beli deodorant lain. Kebetulan join di Home Tester Club dan dia ada nawarin produk deodorant. Nggak pakai lama akhirnya saya apply untuk mencobanya. Kali ini saya bakalan sedikit cerita dan berbagi pengalaman saya menggunakan produk Dove Original Light & Smooth Deodorant ini.

Wah, dapat dua. Yang satu untuk teman atau saudara nih.
Wah, dapat dua. Yang satu untuk teman atau saudara nih.

Saya paling suka dengan signature aroma khas dove-nya, juga kemasan yang simple namun elegan karena ada warna emas pada logonya. Aroma khas dove ini memang menjadi favorit saya dibanding deodorant lainnya. Aromanya Soft, sweet dan creamy.

Cairannya tidak membuat lengket dan melembabkan kulit ketiak, setuju dengan claim satu-satunya deodoran yang mengandung 1/4 moisturising cream. Namun memang, menurut saya ini kalau untuk aktifitas outdoor, kurang bisa menahan bau badan dari keringat berlebih. Untuk mencerahkan, saya belum lihat ada yang signifikan (mungkin karena saya baru pakai semingguan ini aja).

Loved the design!
Loved the design!

Dove ini juga tidak membuat kerak pada bagian ketiak pakaian, ini yang membuat saya suka untuk deodorant model roll on. Biasanya saya menghindari roll on (biasanya saya pilih bentuk padat atau spray) karena terganggu dengan efek samping yang diberikan. Namun Dove beda.

Lembut dan nggak lengket.
Lembut dan nggak lengket.

Sebulan kedepan, kalau memang bisa mencerahkan dan menghaluskan, saya bakalan rekomenin ke teman-teman.

Depok, 25 Agustus 2017

[REVIEW] Bumbu Instan Bamboe Asia Tom Yum – Ikan Ekor Kuning

Ketika waktu sangat sempit, bayi anda sedang tidur dan anda sangat enggan terkena cipratan minyak saat menggoreng ikan, maka Bumbu Bamboe Asia Tom Yum adalah jawaban atas segala kegundahan itu. Berbekal sisa satu wortel di kulkas dan setengah kilo ikan ekor kuning, anda bisa mendapatkan sajian yang levelnya lumayan ketimbang beli masakan jadi di warteg/warpad.

Penampakan Bumbu Instan Bamboe Asia Tom Yum. Loved the packaging!
Penampakan Bumbu Instan Bamboe Asia Tom Yum. Loved the packaging!

Rasa-rasanya, tiada salahnya ketika belanja bulanan anda menyetok beberapa jenis bumbu instan sebagai inspirasi ketika mager mulai melanda. Salah satunya bumbu instan favorit saya sih ya si Bamboe ini. Favorit karena dia nyediain aneka ide masakan yang lebih variatif ketimbang merk lainnya. Selain itu dia modelnya kayak bumbu udah ditumis gitu alias mateng.

Petunjuk penyajian dan informasi lainnya.
Petunjuk penyajian dan informasi lainnya.

Tapi kalo kata saya mah, se-instan-instan-nya bumbu instan, ini cuma enak kalo kita tambahin bumbu sendiri juga. Buat tom yum ikan ini, berikut detail resepnya dan perkiraan biaya masak (Nggak termasuk garam, gula, gas, air) :

– Ikan ekor kuning 3 pcs (Rp. 15.000,-)
– Bawang Putih 5 siung (Rp. 1000,-)
– Daun jeruk 5 lembar (Rp. 100,-) > iya emang murah, orang gopek dapet serauk
– Sereh 2 batang (Rp. 500,-)
– Wortel sebats (Rp. 1000,-)
– Lemon 1 buah (Rp. 1000,-)
– Kecap Ikan 1 sdm (Rp. 200,-)
– Kaldu Jamur Merang (Rp. 700,-) > bisa di skip
– Setengah bungkus bamboe Tom Yum (Rp. 3000,-)

Pastanya begini modelnya.
Pastanya begini modelnya.

Cara masak, liat bungkusnya plus feeling dah. Waktu masak sekitar 20 menitan dan total  biaya abis Rp. 22.500,- untuk makan 3 orang. Kan! seorang berarti kena 7.500-an doang. Kalo beli ikan di warung padang seorang kena Rp. 15.000,-. You win! and saved Rp. 22.500,- *grin*

Penampakannya! Soo, Yummy!
Penampakannya! Soo, Yummy!

Review rasa : Tom yum banget lah, dulu suka kangen kalo makan di Steamboat  yang di margonda. Tapi sejak belajar bikin sendiri, jadi ga pengen kesana lagi. Kalo ga salah inget, sekali makan steamboat (bisa buat bertiga), itu sekitaran 80 ribu deh.

Nilai buat bumbu instan ini : 4/5

Saran : Next kalo tetep mau ikan, mungkin bisa cari jenis ikan yang strukturnya lebih setrong dan nggak cepet hancur pas di rebus. Mending fillet ikan yang tebel-tebel. Variasi lainnya kalian bisa pake cumi, udang, atau olahan seafood seperti crab stick atau bakso-baksoan.

#silminarecipe #silminareview #hematinshay #tomyum #fishtomyum #bumbuinstan #makananinstan

Depok, 18 Agustus 2017

Ide Masakan Gunung #2 : Terong Goreng Tabur Cabai Bawang Pakai Tepung Bakwan MamaSuka

Jangan keder ya sama nama resepnya haha, abisan bingung mau namain apa untuk resep kali ini. Yak, ide menu masakan yang kayaknya bakal cucok sama lidahnya orang Indonesia ini bisa jadi pilihan buat lauk pas lagi naik gunung. Selain bikinnya gampang, akhirnya kita juga bisa makan makanan yang bernutrisi ini. Jangan salah, akhirnya saya cari tau juga manfaatnya ni terong, dan ternyata dia emang punya khasiat ngatur asam lambung, pokoknya ramah banget ini makanan buat di usus.

Kita ini emang harus pilih-pilih ya sayuran yang dibawa itu harus tahan sama gempetan barang-barang di tas. Dan kayaknya nih ya, terong salah satu sayur yang setrong lah. Langsung aja nih resep sama cara bikinnya.

Bahan :
– Terong Ungu 1 buah (Rp. 1000,-)
– 1/4 bungkus tepung bumbu, saya pakai Miwon Tepung Bakwan Mamasuka 250G (beli di Indomaret Rp. 5700,-) berarti sekitaran Rp. 1.500 lah ya kepakenya.
– Bawang Merah 3 siung (Rp. 500,-)
– Bawang Putih 2 siung (Rp. 500,-)
– Cabe Merah & Rawit masing-masing 2 (Rp. 500,-)
– Garam secukupnya (bawa aja dari rumah, gratis >,<)

*itu harga perkiraan ya pas yang bumbu, aslinya mah lebih murah pastinya, itu buat acuan aja.

Mamasuka Tepung Bakwan
Mamasuka Tepung Bakwan

Cara buat :
– Iris kira-kira setengah cm terong
– Aduk 1/4 bungkus tepung bumbu dengan air, di kira-kira aja sampai mengental dan bisa bungkus irisan terong.
– Goreng dalam minyak panas, inget, tunggu panas dulu si minyaknya biar bagus hasilnya. Kalau warnanya udah agak coklat, angkat.
– Cincang bawang dan cabe, goreng sampai kering dan angkat.
– Taburin ke atas terong, dan tambahkan garam sedikit.

Sumpah, gampang beud.
Sumpah, gampang beud.

Total abis Rp. 4.000,- (belum termasuk minyak goreng dan gas yah). Cukuplah buat 3 orang makan.

Resep ini bisa juga buat ide pas lagi laper banget tapi pengen yang cepet-cepet gitu, kayak tadi pagi, belom sempet ke tukang sayur, adanya ini doang di kulkas. 15 menit, kelar dan si terong ini berhasil menjadi pemadam kelaparan sayah.

Ternyata emang lebih aman kita nyetok tepung bakwan, soalnya dia rasanya nggak terlalu asin, jadi kalau buat goreng sayuran pas. Beda kalau tepung-tepung bumbu yang buat daging, dia kurang cocok buat terong ini menurut saya. Pakai mamasuka ini teksturnya juga jadi ngembang gitu tapi tetep krenyes.

Recook? Of course!

#silminarecipe #mamanusantara #hematinshay

Depok, 14 Agustus 2017