Filosofi Teras bagi saya merupakan buku self-improvement berbasis filsafat stoikisme. Bisa dibilang, buku ini banyak memberikan inspirasi dan ilmu yang berguna banget buat keseharian saya sebagai emak-emak. Alasan paling utama ya seperti yang dijelaskan di BAB 9 dalam buku ini:
“Parenting adalah memilih untuk berdamai dengan hal-hal yang tidak bisa kita kontrol”.
Saya langsung membayangkan peristiwa ketika anak sakit, anak menumpahkan tepung roti, memecahkan gelas kaca, terjatuh, ketika mereka tidak mau makan, dan banyak hal lainnya.
Saya mengapresiasi sekali kehadiran buku ini. Bagi orang yang hampir tidak pernah membaca buku filsafat, saya jadi ingin menyelami “kitab-kitab” stoic lainnya, terutama karya Marcus Aurelius yang berjudul “Meditations“.
Kenapa buku ini ditulis?
Buku ini dibuka dengan data survei nasional yang berkaitan dengan anxiety alias kecemasan. Penulis melakukan wawancara dengan seorang pskiater bernama dr. Andri, Sp.KJ, FAPM. Intinya sih ya memang yang namanya penyakit itu bisa disebabkan atau diperparah dengan kondisi psikis kita.
Kenapa ngomongin kecemasan? coba telisik deh penyebab kecemasan? ternyata ya emang karena cara pandang kita yang keliru ketika lagi menghadapi masalah.
“Bukan stres yang membunuh kita, tapi reaksi kita terhadapnya”, kutipan dari Hans Seyle (Hal. 9)
Buku ini juga ditulis tanpa menggurui, jelas dong, wong ini buku sebetulnya isinya sharing alias berbagi pengalaman sang penulis. Mengapa? karena penulis sendiri bilang bahwa stoisisme ini lah yang menjadi solusi alternatif dalam mendapatkan ketenangan yang lebih baik pasca-terapi obat. Ya, penulis pernah mendapat diagnosa “Major Depressive Disorder“.
Buku Filosofi teras ditulis dengan gaya bahasa sederhana dan mudah dicerna. Kalau saya bilang, buku ini cocok banget kalau dijadiin hadiah mulai dari adik-adik kita yang berusia remaja. Salah satu yang membuat buku ini unik dan tidak kelihatan “berat” (karena bahas filsafat) adalah dengan adanya ilustrasi komik dan halaman quotes. Lumayan nih buat yang gaya belajarnya visual, jadi nggak terlalu cepat bosan.
Hidup Sesuai dengan Fitrah
Saya selalu bersemangat ketika ada pembahasan bahwa dalam hidup ini sebetulnya tuh kita tinggal ikutin aja “irama” nya yang Allah udah kasih. Kenalin diri, gali potensi, lalu berkarya sesuai dengan fitrahnya melalui misi hidup. Kalau di buku ini, Bab-nya dinamain “Hidup selaras dengan Alam”.
Bahwa kita nih manusia punya fitur unik berupa akal dan rasio. Lalu secara alamiah (qadarullah), manusia adalah mahluk sosial. Otomatis (seharusnya) bisa hidup damai dan sejahtera bersama-sama. Orang nyebelin mungkin akan tetap ada, tapi kenegatifan dia harusnya nggak akan membuat diri kita jadi nyebelin, kan? Kalau kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib:
“Yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan”. – Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Trus dalam kehidupan ini, ada istilah Butterfly Effect, kita manusia dan alam punya keterkaitan. Kalau di hadist ada ungkapan bahwa sesama muslim itu ibarat badan. Sistem. Masing-masing udah ada peruntukan perannya. Jadi kalau ada satu partikel yang nggak sesuai dengan ketetapan alam, ya pastinya ngefek ke semuanya, ke semesta.
Pas di bagian ini, saya bener-bener geleng-geleng kepala takjub mengingat materi rukun iman ke-6, yep. Iman kepada Qada dan Qadar.
Dikotomi Kendali
Premis buku ini menurut saya bisa diwakilkan dengan dua kata ini. Ya, dikotomi kendali.
“Some things are up to us, some things are not up to us” – Epictetus
Ada hal yang bisa kita kontrol, ada juga hal yang nggak bisa kita kontrol. Kelahiran kita di dunia aja bukan maunya kita, kan?. Jadi dengan pemahaman ini, akhirnya saya bisa lebih tenang dalam membuat perencanaan dan membuat keputusan. Fokus saja kepada hal yang bisa kita kendalikan.
Pemahaman ini tuh seperti memberikan validasi atas iman kepada Qada dan Qadar. Allah sudah memberikan ketetapan dan kadar tertentu pada segala sesuatu. Kita hanya harus tawakal dari awal, saat mengerjakan, dan setelah mengerjakan. Allah membuat keputusan, tapi manusia diberikan ranah tersendiri untuk berikhtiar “mengendalikan sesuatu”.
Kita nggak bisa kendaliin hal-hal yang ada di luar diri kita. Kabar baiknya, kita masih punya kekuasaan penuh atas apa yang kita pikirkan, apa yang kita pakai, apa yang kita makan, apa yang kita kerjakan.
Dikotomi kendali ini nggak ngajarin pasrah (diem-diem bae nggak usaha), ya. Justru penegasannya adalah mengoptimalisasi ranah ikhtiar diri.
Pengingat untuk Mengenal Diri
Seberapa sering kita langsung reaktif ketika ada hal yang tidak sesuai ekspektasi atau hal yang membuat diri ini marah, kecewa, cemburu, iri, dan emosi negatif lainnya? Nah, dalam buku ini ada bab tentang “Melawan Interpretasi Otomatis”. Misalnya, waktu macet parah dan kita ada meeting penting banget. Mungkin seringnya kita bakalan nggrundel dalam hati, marah-marah, atau nyalahin kondisi dan ngerasa kalau udah buang-buang waktu di jalan.
Filosofi Teras mengajarkan untuk tidak buru-buru terhanyut dalam respon otomatis berupa emosi negatif, tapi kita diajak untuk memeriksa kembali apa fakta yang terjadi. Macet. That’s it. Bukan hal yang baru dan khusus dirancang untuk kita seorang.
Apa dengan frustasi dan marah-marah akan membuat jalanan lancar kembali? tentu saja tidak. Ingat, kita tidak bisa mengendalikan macet, yang kita bisa kendalikan adalah interpretasi atau cara pandang kita ketika terjebak macet. Misalnya saja, “wah lumayan nih bisa baca buku”, “wah lumayan bisa nyicil tulisan”, “wah lumayan bisa dengerin podcast”.
Ngajakin Hidup Berkesadaran
Ada kalimat begini:
“Orang yang gampang cemas adalah orang yang punya kecenderungan bahwa ia tidak bisa mengontrol sesuatu”. (Hal 115)
Iya juga sih ya. Mungkin kebanyakan dari kita ketika menjalani setiap detik kehidupan tuh cemas akan masa yang akan datang dan atau justru tenggelam dalam penyesalan atas apa yang sudah terjadi. Kalau kata Seneca,
“We suffer more in imagination than in reality” (Letters)
Kita sering nyiksa diri dengan karangan pikiran kita sendiri. Padahal ada studi tentang Anxiety yang bilang bahwa 85% kekhawatiran kita itu sebenernya nggak pernah terjadi. Penelitian ini menyuruh responden buat nulisin kecemasan mereka dan di akhir periode, mereka diminta buat ceklis mana-mana aja yang kejadian.
Seneca bilang:
“Kita memiliki kebiasaan membesar-besarkan kesedihan. Kita tercabik di antara hal-hal masa kini dan hal-hal baru yang akan terjadi. Pikirkan apakah sudah ada bukti yang pasti mengenai kesusahan masa depan. Karena sering kali kita lebih disusahkan kekhawatiran kita sendiri.”
Pandangan ini bener-bener ngingetin lagi buat hidup mindful. Membersamai diri sendiri, secara utuh, hadir jiwa, raga, dan rasa dalam setiap tindakan dan pergerakan.
Cosmic Point of View alias Efek Melihat dari Jauh
Saya jadi inget nasehat salah satu guru silat dulu, namanya (Alm) Mas Nungki. Waktu itu saya sedang menghadapi masalah yang berat.
“Coba deh, sekarang bayangin Ulfah terbang nih ya ke angkasa, trus lihat bumi sampai kelihatan kecil banget”.
Nasehat yang nggak pernah saya lupa dan pas baca ni buku sampai ke halaman 106, ternyata itu merupakan bagian dari ajaran filosofi teras. Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh Marcus Aurelius. Intinya sih coba deh bayangin aja, apa masalah kita ini lebih besar dibanding bumi itu sendiri dan segala dinamikanya? Kalau kata nasehat-nasehat di postingan akun dakwah. “Aku punya masalah besar, tapi kan Aku punya Allah yang Maha Besar”.
Sampe-sampe, mantan astronot bernama Becky Ferreira bilang, “Saya sungguh percaya jika saja para pemimpin bangsa-bangsa bisa melihat plane mereka dari jarak 100.000 mil, maka perspektif mereka akan berubah drastis”.
Nah kalau udah gini, kita (harusnya) bisa lebih santuy misal ngadepin anak nggak mau udahan mandinya, suami lembur mulu (jadi nggak bisa tag team), cucian lupa dijemur semaleman, baju kelunturan dan masalah domestik rumah tangga lainnya.
Bikin Inget Mati
Saya demen banget ini, di Bab 11 ada pembahasan tentang kematian. Saya jadi inget kajiannya Ust. Oemar Mitta pernah bilang kalau mengingat mati adalah bagian dari ibadah. Nginget mati bener-bener bisa jadi tools buat evaluasi segala ambisi yang kita punya.
Kita sering denger orang bilang, “Ih nggak berasa ya, cepet banget”, “kayaknya waktu 24 jam kurang buat gue”, “gue rasanya pengen membelah diri”.
Seneca pernah bilang:
“Life is long if you know how to use it…we are not given a short life but we make it short..and wasteful of it.” (On Shortness Life”
Seneca juga bilang kalau yang jadi persoalan itu bukan masalah lama sebentarnya waktu hidup kita, tapi gimana kualitas hidup kita sendiri.
Mindset ini ngebantu banget buat ngurangin kekhawatiran yang sering menyerang kita. Ngebantu juga buat milih-milah prioritas dalam hidup. Ngevaluasi mimpi yang kita kejar, apakah yang kita kejar itu sebetulnya cuma angka-angka semata alias harta? tahta? popularitas? ingin dikenang? padahal ujung-ujungnya toh kita akan mati dan terlupakan.
Make sense banget ini. Sebut nama orang yang paling kalian anggap terkenal. Sesungguhnya pasti ada aja orang yang nggak kenal dia. Marcus Aurelius bilang:
Orang-orang yang sangat menginginkan dikenang sesudah mati lupa bahwa mereka yang akan mengenangnya pun akan mati juga. Dan begitu juga orang-orang sesudahnya lagi. Sampai kenangan tentang kita, diteruskan dari satu orang ke yang lain bagaikan nyala lilin, akhirnya meredup dan padam. – Marcus Aurelius (Meditations)
Overall, buku ini layak banget baca sih. Kalau ditanya rate-nya berapa, saya bakalan kasih 8.5/10 karena kontennya segar dan resonated banget sama kehidupan sehari-hari. Plus, bisa langsung dipraktekkan pula ilmu-ilmunya.
Sekian dulu review saya. Kalau favorit teman-teman yang mana?b