Saat sesi tanya jawab, ada yang bertanya
“Apa beda tegas dengan galak?”
Jawabnya sederhana, “tegas bisa disampaikan dengan tersenyum”
Saya mengartikan bahwa tegas bisa disampaikan dengan lemah lembut. Sedangkan galak saat “mendisiplinkan” anak, ada kecenderungan yang membuat anak merasa terancam, takut, sedih, dan tersakiti.
Tahap usia dini adalah tahap untuk membangun fondasi koneksi antara anak dan orang tua. Kalau istilah Dr. Shefali, Connecting before Correcting. “Terhubung” dulu sebelum mengoreksi anak.
Disiplin itu pun masih tahap pengenalan ke anak. Jadi memang sudah dipastikan jalannya tidak selalu sebab akibat alias selalu mulus.
Mendisiplinkan berbeda dengan menghukum. Perbedaan mendasar adalah pada pemaknaan konsekuensi.
Anak menumpahkan air, konsekuensinya mengelap lantai. Masih ada hubungannya.
Anak mengacak-acak pakaian di lemari, konsekuensinya melipat kembali.
Jadi ketika anak menumpahkan air, kemudian konsekuensinya tidak diberikan snack, itu tidak ada hubungannya.
Anak mencoret tembok, kemudian anak disetrap, ini menghukum namanya, karena anak tidak melihat korelasi. Konsekuensi adalah dengan membersihkan tembok.
Tahap usia dini didisiplinkan dengan membangun rutinitas (sequence). Menentukan urutan-urutan kegiatan dari bangun hingga tidur. Karena mereka masih belum dapat bijaksana dalam mengambil keputusan.
Semisal, jam 4 sore mainan sudah berada ditempatnya. Bukan artinya jam 4 teng kita “gebah” anak untuk rapikan saat itu juga. Tapi dimulakan sejak awal.
“Nak, sekarang jam 2 siang, nanti main sampai jam 4 sore ya, (sambil tunjuk jam untuk mengajari konsep waktu). Nanti Ibu ingatkan setiap jam, dan kasih tau berapa lagi bisa main”
“Nak, masih ada satu jam lagi, masih lama”
“Nak, tinggal 15 menit lagi, sebentar lagi siap-siap rapikan ya karena kita akan makan malam”
Saat anak merapikan, kita dampingi.
Jadi perkara mendisiplinkan anak, tidak bisa dengan kalimat abstrak favorit kita semua (eh, saya aja kayaknya ini wkwk):
“Cepetan, nak!”,
“buruan, nak!”,
“Jangan lelet!”
kemudian anak diburu-buru dengan nada tidak menyenangkan dan ekspresi yang membuat kecemasan. Atau terbiasa menyogok anak untuk bergerak.
“Nanti ibu kasih nonton!”
“Nanti ibu kasih permen!”
Ketika ada mainan berceceran. Itu artinya ada kesempatan untuk menanamkan cara berpikir logis dan dampak.
“Nak, ini kalau ada mainan berceceran dan ibu atau ayah tidak lihat karena gelap, bisa terinjak dan kaki bisa kesakitan, yuk kita taruh ditempatnya”
Terkesan bertele-tele dan merepotkan memang menjelaskan seperti di atas. Tapi, itulah. Ibarat sedang merawat benih, ada perlakuan-perlakuan khusus agar tanaman bisa tumbuh dan berbuah dengan baik.
Anak jadi mengenal dampak. Bahwa segala hal memiliki konsekuensi dan tanggung jawab tertentu. Ada akibat dari sebab.
Mendisiplinkan anak berbeda dengan transfer pengetahuan. Tidak bisa hanya dengan metode ceramah.
Mendisiplinkan, artinya membangun keterampilan dan pembentukan sikap, dilakukan dengan metode: peragaan, simulasi, bermain peran.. adapun untuk membahas “kelalaian” anak, dilakukan pada waktu yang berbeda, misalnya sebelum tidur atau sedang bersantai.
Semoga Allah ridha dengan semua proses yang dijalankan. Semoga menjadi wasilah kepada perbaikan iman dan taqwa kita.
Semoga Allah senantiasa mudahkan kita semua.
Refleksi Materi @klastulistiwa
“Teknik Penanaman Karakter untuk Anak Muslim Usia Dini”
Senin, 20 Maret 2023