Decluttering – Langkah Awal Kehidupan yang Lebih “Waras”

hidup-minimalis-declutter-bebenah-rumah

Decluttering adalah sebuah proses dimana kita bebenah dan mengeluarkan barang-barang yang sudah tidak dipakai (atau tidak pernah dipakai) dari rumah.

Setahun belakangan ini, saya banyak membaca dan mempelajari lebih lanjut tentang gaya hidup minimalis. Semua berawal dari perasaan hidup yang terasa “hampa” terutama sejak hamil anak ke-2. Sejak bangun sampai tidur sampai tidur lagi, mata sakit melihat aneka tumpukan barang yang tidak pada tempatnya (dan karena tidak punya tempat). Apalagi saat itu saya tinggal di apartemen mini tanpa kamar (petakan).

Saat menyewanya apartemen itu, kami sudah mendapatkan beraneka furnitur yang beberapa barangnya sebetulnya jarang kami pakai. Otomatis banyak ruang yang terpakai untuk menyimpan barang itu.

Terlebih, dengan kebiasaan  lungsur-melungsur barang adalah hal yang kerap terjadi (apalagi jika kau punya anak).

Rumah jadi penuh sesak dengan pakaian, mainan, barang elektronik yang sebetulnya kalau diteliti, lebih banyak yang tidak dipakai. Belakangan saya paham bahwa barang-barang itu bertengger di rumah karena satu alasan:”Just in Case“, alias “Kali aja ntar kepake”.

Kegiatan sehari-hari pun lebih banyak merapikan dan membersihkan rumah. Bayangkan saja, ini belum termasuk mengajak anak main dan memasak. Luar biasa menguras fisik dan mental (sedangkan mengurus diri sendiri pun tidak sempat). Beberapa tekanan yang paling membuat leher merasa tercekik antara lain:

  1. Merasa diri tidak becus menjadi istri dan ibu. Rumah nggak keurus gitu, berantakan! harusnya kan bisa lebih rajin lagi beresin rumah.
  2. Waktu buat upgrade diri yang nyaris tidak ada. Misalnya: baca buku kek, eksperimen apa kek, ngaji kek, and so on.
  3. Dikit-dikit ngegas, tiap ada “ulah” suami dan anak yang membuat situasi penampakan rumah semakin kacau.
  4. Mau pergi keluar rumah, tidak siap jika nanti pulang dalam kondisi capek, melihat rumah masih berantakan dan harus pula menyiapkan makan malam. Ini berlangsung beberapa bulan, membuat diri cuma pergi keluar rumah hanya untuk belanja ke pasar saja. Sisanya? tentu saja “nguli”. (FYI, pernah loh saya pulang dari main ke rumah teman, lalu menangis karena stress melihat rumah berantakan dan belum sempat masak makan malam).

Situasi-situasi di atas adalah alasan utama mengapa saya akhirnya mau berubah. Mau hidupnya nggak cuma jadi Upik Abu. Jangan salah paham dulu, bukannya saya tidak bersyukur atau tidak sadar betapa banyak kebaikan yang Allah kasih sebagai ganjarannya. Tapiii, saya ingin mengeksplorasi diri, saya ingin “project” yang lebih besar lagi.

Saya ingin hidup lebih santuy, alias lebih tenang hatinya. Tidak tergesa, berkesadaran, dan penuh cinta.

Saya ingin punya waktu untuk menjawab pertanyaan, “Siapa saya?”, “Mengapa saya diciptakan di dunia”, “Apa peran saya?”, “Apa misi hidup saya?”.

Selama ini, pertanyaan itu terkubur gara-gara RUTINITAS BEBERES yang tiada akhir. Sudah tak terhitung lagi berapa kali saya harus menunda diri untuk merancang pemetaan kehidupan hanya gara-gara teringat cucian piring menumpuk, cucian baju belum dilipat, dan mainan anak berceceran.

Tidak ada tersisa waktu untuk menggali dan berpikir. Sholat pun tiada nikmat karena hati terasa sesak seperti dikejar-kejar pekerjaan. Bangun tidur badan pegal, mau tidur mental babak belur karena terus dihantam “yang itu masih kotor”, “yang ini belum kepegang”, “nggak becus jadi orang”.

Oke, intinya sebelum bertanya “bagaimana cara decluttering ?”, sebaiknya kita siapkan diri untuk menjawab “mengapa ingin decluttering”. Karena kalau hanya sampai bab tips-trik-cara-cara nge-hack rumah supaya kelihatan rapi, sebetulnya kita hanya perlu membeli kontainer-kontainer besar atau menyiapkan gudang untuk kita sembunyikan barang-barang di sana.

Tapi kemudian mungkin tanpa sadar kita menjadi “Penimbun yang Ulung” karena telah berhasil menata beraneka barang tanpa terlihat berantakan. (iya sih, semua barang punya tempatnya masing-masing, tapi apa emang semua barang itu dibutuhin?).

Sekalinya ada yang dibuang, didonasikan, atau diberikan kepada orang lain, tanpa menunggu waktu lama, kau akan kembali mengisi ruang-ruang dalam rumahmu dengan barang-barang baru. Entah karena tergiur diskon, promo, black friday, atau yang lainnya. (Baca : impulsive buying).

Saya bicara pada diri saya sendiri waktu itu, “Sudahlah, mau sampai kapan kamu memberikan nilai/makna/arti pada benda? pada materi?”. Dirimu bukanlah apa yang melekat pada badanmu atau apa benda yang kamu miliki. Dirimu adalah apa yang kau berikan pada sekitar. Tentang kebermanfaatan.

Jadi bagi saya, memulai hidup lebih bermakna versi saya adalah dengan memulai latihan memilah “Mana yang “ingin” (obsesi) dan mana yang penting?”, lewat packing party barang-barang di rumah. Barang kali memang harus begitu. Sebelum belajar memilah prioritas, kita bisa mengasah kemampuan diri untuk bisa selektif, dengan decluttering barang di rumah.

Decluttering adalah langkah awal yang saya syukuri telah saya ambil, karena dengan begitu, saya bisa mengisi waktu-waktu saya (yang dulu buat bebenah), menjadi olahraga, menyiapkan permainan untuk anak-anak, mencoba hal-hal baru seperti vlogging, composting, dan mengunjungi tempat-tempat baru di Taiwan.

Sampai saat ini saya belum sampai pada goals yang saya inginkan (berkaitan dengan keberadaan barang di rumah), tapi setidaknya saya membuat progres yang jauh lebih baik sampai detik ini. Alhamdulillah.

Saya sadar bahwa decluttering itu bukan pencapaian. Tapi sebuah proses yang dilakukan sepanjang perjalanan kehidupan.

Decluttering mengajarkan diri ketika akan menambahkan barang ke dalam rumah. Jadi terbiasa menanyakan kepada diri sendiri, “apakah ini bisa mendukung hidup saya lebih bermakna? atau hanya jadi calon sampah saja?”.

Saya jadi terlatih untuk tidak memberikan sentimen lebih kepada barang. Nampaknya, tidak ada lagi istilah “Wah, sayang banget, ini kan baju waktu suami ngelamar saya”, atau “ini kan mainan pertamanya anak saya”. Saya jadi belajar bahwa memori itu tersimpan dalam ingatan, bukan di dalam barang. Akhirnya kaidah ini juga lah yang memudahkan saya untuk menghapus banyak sekali foto-foto di gallery hape.

Barangkali otak kita juga seumpama hape ya, kalau udah kepenuhan bisa lemot, nge-hang.

Tidak menyangka. Padahal ketika memulai ini semua, saya hanya tertarik pada bagaimana cara merapikan rumah secara efektif. Tapi ternyata, pertanyaan itu membawa diri saya jauh kepada, “Memangnya apa yang akan kamu lakukan, ketika rumahmu sudah rapi dan kinclong?”, “What’s next?“.

Dan pertanyaan ini lah, yang membuat saya kini merasa, hidup saya lebih bermakna (dari sebelumnya). Mungkin segitu dulu ya bahas decluttering-nya, sambung lain waktu.

Sebagai penutup, kalau katanya The Minimalists

Love people, and use things. Because the opposite, never works

Taipei, 22 Maret 2020

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *