Apakah Disiplin itu Harus Galak?

Saat sesi tanya jawab, ada yang bertanya

“Apa beda tegas dengan galak?”

Jawabnya sederhana, “tegas bisa disampaikan dengan tersenyum”

Saya mengartikan bahwa tegas bisa disampaikan dengan lemah lembut. Sedangkan galak saat “mendisiplinkan” anak, ada kecenderungan yang membuat anak merasa terancam, takut, sedih, dan tersakiti.

Tahap usia dini adalah tahap untuk membangun fondasi koneksi antara anak dan orang tua. Kalau istilah Dr. Shefali, Connecting before Correcting. “Terhubung” dulu sebelum mengoreksi anak.

Disiplin itu pun masih tahap pengenalan ke anak. Jadi memang sudah dipastikan jalannya tidak selalu sebab akibat alias selalu mulus.

Mendisiplinkan berbeda dengan menghukum. Perbedaan mendasar adalah pada pemaknaan konsekuensi.

Anak menumpahkan air, konsekuensinya mengelap lantai. Masih ada hubungannya.

Anak mengacak-acak pakaian di lemari, konsekuensinya melipat kembali.

Jadi ketika anak menumpahkan air, kemudian konsekuensinya tidak diberikan snack, itu tidak ada hubungannya.

Anak mencoret tembok, kemudian anak disetrap, ini menghukum namanya, karena anak tidak melihat korelasi. Konsekuensi adalah dengan membersihkan tembok.

Tahap usia dini didisiplinkan dengan membangun rutinitas (sequence). Menentukan urutan-urutan kegiatan dari bangun hingga tidur. Karena mereka masih belum dapat bijaksana dalam mengambil keputusan.

Semisal, jam 4 sore mainan sudah berada ditempatnya. Bukan artinya jam 4 teng kita “gebah” anak untuk rapikan saat itu juga. Tapi dimulakan sejak awal.

“Nak, sekarang jam 2 siang, nanti main sampai jam 4 sore ya, (sambil tunjuk jam untuk mengajari konsep waktu). Nanti Ibu ingatkan setiap jam, dan kasih tau berapa lagi bisa main”

“Nak, masih ada satu jam lagi, masih lama”
“Nak, tinggal 15 menit lagi, sebentar lagi siap-siap rapikan ya karena kita akan makan malam”

Saat anak merapikan, kita dampingi.

Jadi perkara mendisiplinkan anak, tidak bisa dengan kalimat abstrak favorit kita semua (eh, saya aja kayaknya ini wkwk):

“Cepetan, nak!”,
“buruan, nak!”,
“Jangan lelet!”

kemudian anak diburu-buru dengan nada tidak menyenangkan dan ekspresi yang membuat kecemasan. Atau terbiasa menyogok anak untuk bergerak.

“Nanti ibu kasih nonton!”
“Nanti ibu kasih permen!”

Ketika ada mainan berceceran. Itu artinya ada kesempatan untuk menanamkan cara berpikir logis dan dampak.

“Nak, ini kalau ada mainan berceceran dan ibu atau ayah tidak lihat karena gelap, bisa terinjak dan kaki bisa kesakitan, yuk kita taruh ditempatnya”

Terkesan bertele-tele dan merepotkan memang menjelaskan seperti di atas. Tapi, itulah. Ibarat sedang merawat benih, ada perlakuan-perlakuan khusus agar tanaman bisa tumbuh dan berbuah dengan baik.

Anak jadi mengenal dampak. Bahwa segala hal memiliki konsekuensi dan tanggung jawab tertentu. Ada akibat dari sebab.

Mendisiplinkan anak berbeda dengan transfer pengetahuan. Tidak bisa hanya dengan metode ceramah.

Mendisiplinkan, artinya membangun keterampilan dan pembentukan sikap, dilakukan dengan metode: peragaan, simulasi, bermain peran.. adapun untuk membahas “kelalaian” anak, dilakukan pada waktu yang berbeda, misalnya sebelum tidur atau sedang bersantai.

Semoga Allah ridha dengan semua proses yang dijalankan. Semoga menjadi wasilah kepada perbaikan iman dan taqwa kita.

Semoga Allah senantiasa mudahkan kita semua.

Refleksi Materi @klastulistiwa
“Teknik Penanaman Karakter untuk Anak Muslim Usia Dini”

Senin, 20 Maret 2023

Mendisiplinkan Anak Muslim Usia Dini : Sebuah Refleksi

Bagaimana mengubah perilaku “menantang” anak usia dini?
Dulu. Waktu anak pertama masih bayi, ada seorang teman (ibu senior) memberikan wejangan yang mengganggu pikiran.
Saking mengganggunya, saya sampai sekarang masih ingat.
A7803217-E0BF-46B1-8259-B92504E8585E
“Anak itu (meski bayi), manipulatif, jadi harus tegas dan hati-hati”, maksudnya harus “didisiplinkan sejak dini”.
Menurut saya. Energi yang disampaikan ini negatif. Menganggap anak itu objek, kertas kosong yang perlu segera “diwarnai”, serta merupakan beban hidup yang siap menyita energi.
Anak itu pemberian Allah. Bukan daya dari manusia. Mereka adalah pribadi utuh sejak lahir. Punya hak-hak asasi yang harus dipenuhi.
Membesarkan anak itu, adalah bentuk pengabdian kita ke Allah. Jika sejak awal sudah menempatkan anak sebagai “musuh” yang perlu diwaspadai, apakah cinta bisa tumbuh?
Mindset. Pola pikir yang perlu direvisi. Bahwa setiap perilaku anak yang “menantang” itu bukan karena anak jahat. Tapi merupakan sebuah jendela belajar keluarga.
Anak mencoret dinding, ya karena mereka punya hasrat untuk menyalurkan kemampuan kognitifnya. Mereka lebih nyaman menggerakkan motoriknya (menulis) secara vertikal. Perlu diberikan alasan logis, fasilitas, dan ruang tabah yang banyak. Itu memang sudah menjadi “biaya” pengasuhan yang tak kasat.
Mendisiplinkan bukan supaya anak nurut. Kalem. Mau disuruh-suruh. Mudah diarahkan.
Mendisiplinkan, itu artinya kita MEMBANTU mereka menyelesaikan masalah-masalah dalam kehidupan ini.
Disiplin yang membentuk karakter.
Disiplin yang kelak akan memudahkan mereka mencapai tujuan.
Disiplin yang membuat mereka mengenal diri, sehingga mampu memahami arti sebuah konsekuensi.
Disiplin yang mampu mengasah rasa, sehingga mereka peka akan kapasitas diri, dan akhirnya mampu menciptakan batasan-batasan berdasarkan nilai yang diyakini.
Kita orang tua, bukan pusat semesta anak-anak dengan kebenaran yang maha absolut. Kita sendiri pun perlu dan harus belajar. Karena zaman berubah. Ada banyak sekali penelitian-penelitian yang mematahkan “mitos pengasuhan atau doktrin” yang kini sudah tak relevan.
Kita sedang menuju akhir zaman.
Tantangannya berbeda
Kebutuhannya berbeda
Tak bisa pakai cara yang sama
Apakah kita mau bertumbuh bersama mereka?
Mengasuh anak, ladang pahala
Berbakti kepada orang tua, ladang pahala
Saya jadi berpikir keras, Bagaimana cara agar kedua hal di atas dapat bersinggungan. Dijalankan sungguh-sungguh dan dengan suka cita.
Niat dan harapan tentu tidak akan pernah cukup.
Niat, doa, tawakal sejak awal memang menjadi rukun awal. Memang perlu ikhtiar yang bukan sembarang ikhtiar.
Akhirnya kita kembali disadarkan bahwa ketika kita ingin membuat anak disiplin. Pertama-tama memang orang tuanya dahulu yang sadar, dan mau disiplin juga.
Refleksi Materi @klastulistiwa
“Teknik Penanaman Karakter untuk Anak Muslim Usia Dini”
Ahad, 19 Maret 2023

Memaknai Hari yang Ideal vs Membangun Kebiasaan

Satu pesan yang paling terngiang-ngiang adalah saat penjelasan bahwa namanya MENENTUKAN PRIORITAS itu butuh BERKORBAN.

Berkorban untuk menyortir yang kita anggap penting, bahkan mendesak untuk bisa digeser agar hari menjadi lebih optimal.

Bahwa mendapatkan hari ideal setiap hari adalah sebuah sumber kusut dalam kehidupan. Sumber kekecewaan karena ternyata ekspektasi kita selama ini berlebihan.

Perasaan “hari yang tidak ideal” itu memang tidak perlu dilawan, tidak perlu dijadikan alasan untuk menghakimi diri. Perasaan itu memang tidak nyaman, ya hadirkan dan rasakan saja, biarkan dia nanti pergi dengan sendirinya berangsur-angsur karena kita pun fokus dan berkonsisten dalam perbaikan.

Itulah kenyataan yang harus kita hadapi. Barangkali kita selama ini hanya membuat rencana-rencana di alam pikiran. Dimana ketika semua dijalankan, ternyata banyak faktor di luar kendali yang akan mempengaruhi kenyataan (kejadian).

Kalau biasanya akan langsung bilang ke diri sendiri, “gimana sih, bikin plan aja ga becus!”, “tuh kan, gimana kedepannya kalau gini-gini terus!”, “susah berubah”.

Kenyataan memang berat, misalnya: beberapa hal dalam “to do list” harian kita yang berupa “hal-hal yang penting dan wah!”, ternyata harus dilepaskan (Letting go) karena menimbulkan penolakan dari tubuh kita sendiri

Karena untuk berubah dari kebiasaan menunda itu adalah sebuah hal sangat besar. Jangan sampai perasaan “selalu gagal” atau “nggak becus” membuat diri terpuruk tenggelam dalam lingkaran setan.

Karena yang kita ingin bangun itu kebiasaannya (otot yang bikin gerak otomatis). Maka langkah awal memang harus memilih dari yang paling kecil penolakannya. Pilih target yang membuat diri tidak punya pilihan untuk menunda karena ada perasaan “ah, gini doang mah kecil!”.

“Stupid small”. Mau konsisten olahraga, “Why” besar tidaklah cukup. Will power jika dipaksa terus menerus juga bisa habis, sehingga energi semakin lesu dan akhirnya habit pun mangkrak.

Pilih yang tergampang, sekecil mungkin, kemudian alokasikan saat bangun tidur atau saat mau tidur. Sekali lagi, alokasikan. Berikan slot waktu, meski hanya 1 menit.

1 menit konsisten, jauh lebih besar kemungkinan untuk sustain sehingga punya berdampak besar, ketimbang 1 jam yang kadang-kadang.

Perjalanan membangun habit ini perlu dilihat sebagai strategi yang gentle untuk meruntuhkan sistem yang sudah terpatri dalam diri kita.

Karena, diri kita ini sudah terlalu banyak sekali program-program otomatis yang membuat kita menunda aksi perubahan. Rasanya memang tidak nyaman melawan diri sendiri, dan ini perlu dimaklumi.

Pemakluman itu digunakan untuk kita agar tidak terlalu keras terhadap diri sendiri, apalagi ketika tidak bisa mencapai target ideal/optimal.

Jika hari ini terasa “gagal” alias hanya dapat target minimal, kita hanya perlu mencatat dan MOVE ON.

Keep going
Jalan lagi aja
Sambil terus audit diri dan refleksi

Di hari ke 14 ini, melihat catatan dan dokumentasi belajar anak yang apa adanya. Melihat tidak lagi dengan “aturan hari ini belajarnya A, B, C”, tapi dimulakan dengan bersyukur dengan anugerah untuk melanjutkan perbaikan.

(Golden Momen dari Pelatihan Habit Transformation oleh Rumah Inspirasi)

Rabu, 15 Maret 2023

 

Review Buku “Memilih” karya Ayu Primadini

A432F10C-2F1D-4B54-8C93-EB5A39DD95D1
Buy a book by it’s writer!

Membeli buku gara-gara penulisnya, yaitu . Ya, buku ini saya baca karena yakin isinya menarik.

Tahu penulisnya karena tahun lalu memang sedang suka mempelajari pemikiran dan metode Charlotte Mason yang cukup populer di kalangan pesekolah rumah (homeschooler).

Jadi ceritanya, penulis buku ini merupakan host di podcast Charlotte Mason Indonesia (CMID) yang menurut saya, selalu berhasil memberikan narasi, memantik diskusi dengan pertanyaan-pertanyaannya yang menggugah.

Ternyata saya tidak keliru. Buku ini kemudian menjadi buku pertama saya baca sampai habis di Tahun 2023. Barangkali, ini jenis buku yang bisa dihabiskan dalam sekali duduk di komuter Bogor-Kota. Tipe buku yang asyik banget buat bekel di kafe sendirian.

Berisi esai reflektif tentang pekerjaan sejati manusia yaitu “memilih”. Di era penuh distraksi seperti sekarang ini memang kerap membuat kita menjalankan hidup tanpa sadar. Semua berjalan otomatis. Bangun tidur langsung raih ponsel untuk cek notifikasi. Seolah setiap keputusan dilakukan secara impulsif tanpa mau melihat motif dibalik pilihan-pilihan tindakan kita.

Lihat teman berlibur ke eropa, jemari auto buka penyedia tiket pesawat untuk ikutan cek harga. Lihat anak teman ikut kursus, besoknya ikutan juga. Kita merasa dikejar-kejar dan tak rela ketinggalan hal kekinian.

Ada pula yang merasa “memilih” untuk menjadi “anti-mainstream”. Padahal jika dipikir mendalam, bukankah keputusan menjadi anti-mainstream itu sendiri karena pengaruh hal mainstream. Ingin beda dari yang kebanyakan. Artinya, memilih melakukan karena ingin pembuktian bahwa “saya berbeda”. Memilih bukan karena kebutuhan diri, tapi karena ikut arus eksistensi.

Kita enggan mengambil jeda untuk mengupas “strong why” dalan tiap keputusan yang diambil. Mengapa demikian? Tentu saja karena kenyataan tidak selalu menyenangkan. Kita akan bertemu dengan kerapuhan diri yang selama ini tidak ingin kita terima dan akui.

FDB884DD-A395-45CF-BD2C-77A1EB0518C9

Banyak sekali hal yang sepemikiran alias relate dengan kehidupan saya. Jenis buku yang kadang sampai heran, oh ternyata seringkali manusia punya inner voice yang kurang lebih sama.

Buku ini berhasil mengingatkan saya untuk tidak bosan-bosan meluangkan waktu untuk evaluasi dan refleksi diri.

Juga tentang gagasan-gagasan yang mencerahkan tentang konsep pasangan hidup bukanlah belahan jiwa. Karena jika cuma sebelah, kita akan merasa pasanganlah yang membuat kita utuh. Kadang jika demikian, akan berbahaya karena artinya kita selalu merasa kurang dan menuntut pasangan untuk sesuai dengan ekspektasi.

Kita adalah manusia yang utuh. Adapun peran pasangan, adalah untuk bisa bertumbuh bersama untuk tujuan yang satu. Sahabat yang selalu mengingatkan dan partner dalam menjalankan amanah hidup.

Ada bagian-bagian menarik semisal bicara tentang otoritas. Apakah ada kondisi dimana manusia tidak punya pilihan? Bahwa pasti pernah kita gemas sekali jika ada teman yang curhat bahwa hidupnya menderita, tapi dia tak juga pindah atau berusaha keluar dari lingkungan itu.

Ia bilang, tak punya pilihan. Padahal tiap pribadi selalu punya ruang otoritas jika ia mau dan berani. Hanya perlu mengupas diri lebih dalam, mengurai rasa takut dan cemas yang menghantam pikiran.

Semua pemikiran mendalam ini dituliskan dengan bahasa yang sederhana dan mengalir adanya. Saya suka sekali pemilihan diksi yang digunakan penulis.

Buku setebal 127 ini memuat 16 esai pendek yang akan membuat kalian berujar, “oh iya juga ya..”.

Hal yang paling nyata adalah tentang realita media sosial dan teknologi yang sekarang membuat kehidupan seperti sibuk tak berujung. Makin banyak hal yang (seolah) harus dikejar dan silaturahim maya yang kian menggerus sistem sosial kemasyarakatan kita.

Kita merasa perlu “keep in touch” dengan sahabat yang jauh di sana. FOMO dengan unggahan-ungahan mereka, namun abai dengan yang ada di depan mata. Kualitas koneksi menurun dan cenderung dangkal.

Lagi-lagi, barangkali keruwetan hidup kita ini biang keroknya karena tiap keputusan yang diambil sehari-hari tidak lagi didasari oleh intensi sadar dan motif mendalam.

Semisal, memilih pakaian hanya karena kekinian. Enggan memilih karena ketinggalan zaman padahal nyaman dikenakan. Kegiatan memilih yang kemudian dilandasi penilaian orang, bukan penilaian sendiri.

Memilih jurusan kuliah hanya karena kampusnya negeri, meski di tempat yang tak sepenuhnya dimengerti karena yang penting sedikit pesaingnya.

Di ujung perjalanan kemudian mengapa hidupku begini. Padahal sejak awal tak mau dengarkan diri sendiri. Sejak kecil terbiasa untuk mengikuti apa yang tenar, bukan yang benar.

Oh iya, di dalam bukunya juga penulis suka menyampaikan kutipan-kutipan dari buku yang beliau baca. Saya paling suka baca yang seperi ini karena serasa sakali dayung dua pulau terlampaui.

Ini tu modelan buku yang cocok banget buat kado adik-adik kita yang lagi mau belajar baca buku non fiksi. Kayak buat kasih nasehat tapi caranya alus, karena isinya banyak petuah-petuah yang bakalan relate sama generasi milenial, Z, dan alfa.

 

Taipei, 6


Maret 2023

Metode ABC (Amati-Bayangkan-Cari Tahu): Keterampilan Berpikir yang Sering Terabaikan

 

Menginjak usia 32 tahun, semakin memahami bahwa begitu banyak metode yang bisa digunakan untuk meningkatkan keterampilan berpikir dan mengambil keputusan. Saya sendiri berharap bahwa soft-skill yang satu ini bisa saya ketahui sedini mungkin.

Ada begitu banyak alasan, beberapa diantaranya adalah:

  1. Bisa lebih mengenal diri sendiri.
  2. Bisa lebih kritis dalam melihat menghadapi peristiwa atau permasalahan.
  3. Bisa lebih percaya diri dalam mengambil keputusan.
  4. Bisa lebih peka terhadap hal-hal detail yang selama ini tidak terlalu diperhatikan.
  5. Bisa lebih sadar dan penuh intensi dalam melakukan tiap kegiatan.

Sebetulnya metode Amati-Bayangkan-Cari Tahu ini sudah sering sekali kita lakukan, namun lebih sering lagi kalau kita tidak sadar telah melakukannya. Itu semua karena budaya buru-buru dan rutinitas yang kerap kita lakukan. Kita, saya lebih tepatnya, lebih sering melakukan aktivitas tanpa berkesadaran penuh, atau bahasa kerennya, tidak mindful.

Hal yang wajar, karena memang barangkali 80% aktivitas kita sehari-hari sudah terprogram dalam alam bawah sadar. Beberapa bulan ini, saya mulai menerapkan metode ini (waktu itu belum tahu namanya) dalam mengamati ketika diri sendiri marah atau kesal ke anak-anak.

Step 1 – Amati

Apa yang saya lihat sehingga membuat saya marah? perkataan atau suara apa yang membuat saya tidak nyaman? perlakuan atau sentuhan apa yang membuat saya risih dan kesal? aroma apa yang memicu emosi negatif saya? rasa apa yang sedang saya alami sebetulnya (berkaitan dengan mekanisme biologis tubuh saya)?.

Setelah mulai mengamati apa yang dialami diri sendiri, ternyata saya sering terpicu untuk marah ketika dalam kondisi tubuh lapar,kelelahan (ngantuk), pegal-pegal, dan ingin berkemih. Saya relatif ingin semua bergerak cepat (misal ketika anak memakai sepatu atau pakaian). Padahal, ada rasa tidak nyaman karena ada kebutuhan yang belum terpenuhi dari diri sendiri.

Contoh yang berkaitan dengan indera penglihatan, melihat nuansa dan kondisi rumah berantakan, saya merasa tidak nyaman sehingga suka terlintas emosi negatif yang muncul ketika anak “melakukan eksplorasi” dengan mengamburkan aneka barang.

Permisalan lain adalah ketika mencium aroma pesing dari anak, membuat diri waswas akan najis tersebut, sehingga justru ada sensasi emosi negatif dan cenderung menyalahkan ini semua karena anak yang belum lulus toilet training. Sehingga dari persoalan tersebut saya sudah bisa membuat diri tidak rasional dan mudah ter-trigger untuk merilis kekesalan lewat mimik wajah dan suara.

Saya juga mengamati ketika emosi ini melanda, napas terasa pendek-pendek. Jantung kadang berdebar dan ada perasaan sesak di bagian dada. Dalam kasus tertentu, misal yang mengganggu indra penciuman, terkadang ada rasa mual.

Step 2 – Bayangkan

Setelah mengamati, tahap berikutnya adalah membayangkan. Bayangkan ketika anak menumpahkan makanan/buang air kecil di lantai/bertengkar dengan saudaranya sampai terjadi teriakan dan tangisan, bisa langsung dilakukan dengan bertanya ke diri sendiri dan menyelesaikan persoalan dengan diri sendiri dahulu.

“Oke, sekarang apa yang sebetulnya terjadi? apa sedang lapar? kelelahan? ingin berkemih? apa sedang ada janji atau tugas lain yang harus diselesaikan?”, intinya segera bertanya ke diri sendiri tentang suasana/emosi negatif apa yang menyertai diri ini.

Bertanya juga dengan diri sendiri, mengingat-ingat prinsip bahwa setiap peristiwa yang terjadi pada anak adalah peluang untuk bisa diambil pelajaran oleh mereka dan kita orang tuanya. Sehingga marah dan bentakan bukanlah hal yang sepatutnya diluncurkan dalam situasi genting ini.

Bayangkan pula apa yang akan terjadi jika kita meluapkan emosi yang salah kepada anak-anak. Bayangkan truma dan luka batin yang akan menetap dalam anak-anak kita kelak, entah sampai kapan.

Ingat-ingat dan bayangkan bahwa Allah adalah CCTV sejati yang selalu mengamati gerak-gerik dan bahkan pikiran kita. Apakah kita akan menyerah dengan hawa nafsu amarah, atau akan maju melawan dorongan marah itu?

Step 3 – Cari Tahu

Langkah ini adalah langkah untuk bereksperimen, mencoba-coba hal yang kemudian bisa menjadi solusi akan permasalahan yang ada.

Dalam contoh di atas, ternyata sudah coba diamati dan dibayangkan berbagai kemungkinan yang ada. Saatnya membuat prosedur penyelesaian yang bisa mengurangi risiko negatif atau bahkan mengubah masalah menjadi hal yang justru penuh manfaat.

Solusi pertama adalah mulai menjurnal untuk menuliskan refleksi harian terutama akan kejadian-kejadian tentang emosi negatif ini. Ternyata dengan menuliskan perasaan negatif yang bisa memicu amarah ke anak, terbukti membuat lebih sadar dan berkurang khilaf marah-marahnya ke anak. Karena ketika dituliskan, hal yang membuat marah justru menjadi terlihat sangat sepele. Sampai malu sendiri dibuatnya.

Eksperimen selanjutnya adalah melakukan latihan hidup berkesadaran. Baik secara statis maupun dinamis. Memperhatikan napas ketika duduk saja, atau dalam aktivitas harian. Selama ini, saking sudah tahu caranya bernapas, kita jadi merasa tidak perlu berlatih napas. Padahal latihan napas ini krusial, dan manfaatnya sangat banyak. Paling tidak, membuat state diri kita menjadi lebih kalem.

Lagi pula, beberapa teori kan juga bilang bahwa ketika akan marah, coba tahan 3 hingga 6 tarikan napas panjang untuk membuat kepala lebih dingin dan sikap lebih rasional.

Langkah terakhir yang dilakukan adalah dengan menuliskan keberhasilan-keberhasilan kecil saat sukses mengendalikan emosi negatif. DItuliskan untuk menghindari diri dari perasaan “tidak mampu berubah”, padahal namanya perubahan dilakukan setahap demi setahap. Hidup ini, kan proses.

Pengalaman ber-ABC dengan Anak-anak

Sejak berlatih mindful dan menjurnal, saya merasakan bahwa mulai mempraktekkan dengan anak-anak. Misalnya saja saat mengajak anak berkegiatan di dapur, membuat telur dadar.

Saya mengamati lebih jeli lagi, binar mata dan keterampilan tangannya. Juga dengan mengamati reaksi mereka saat diberikan instruksi.

Kemudian langkah berikutnya, bertanya tentang tekstur kulit telur, lekuk-lekuk tajamnya ketika sudah dipecahkan, dan menanyakan seperti apa rasanya memegang telur mentah itu (imajinasi mereka).

Langkah berikutnya adalah mencari tahu apa yang harus dilakukan jika ada potongan kulit telur yang masuk ke dalam mangkuk. Saat anak mengaduk terlalu cepat, dan menumpahkan sebagian telur, kita kemudian mendiskusikan apa yang harus dilakukan untuk membersikan lantai dan sikap yang harus dilakukan agar tidak tumpah lagi.

Dari kegiatan sederhana, kemudian menjadi sangat luar biasa karena orangt tua betul-betul hadir saat bermain bersama anak.

Ternyata ketika kita menyambut peran orang tua, disitu pula saatnya kualitas diri kita bertambah karena kita mau belajar dan memperbaiki diri.

 

#excercise4

 

 

Ide Permainan Berbasis STEAM untuk Usia Dini

Saya selalu teringat kata-kata Ustadz Harry Santosa (alm) saat menjelaskan tentang pendidikan berbasis fitrah.

Belajar itu mulai dari yang ada, tidak perlu mengada-ada.

Ternyata kutipan ini juga yang termasuk sering diungkapkan oleh Mas Aar dan Mbak Lala melalui kelas-kelasnya di rumah inspirasi.

Setiap peristiwa adalah jendela belajar bagi orang tua dan anak-anak.

Iya juga ya, terkadang orang tua malah sibuk mencari dan mengada-ada untuk pengadaan mainan edukasi. Padahal jendela belajar anak bisa kita dapatkan di seluruh penjuru rumah kita atau saat berjalan-jalan santai ke taman. Syaratnya tentu saja, orang tua yang selalu mau belajar, dan peka terhadap sekelilingnya.

Kali ini, ibu-ibu di Komunitas Ibu Main STrEAM, diminta untuk menemukan jenis aktivitas sehari-hari yang dekat dengan kita, serta mengandung unsur-unsur Sains, Teknologi, Teknik, Seni, dan Matematika di dalamnya.

Aktivitas di Dapur atau Bermain Masak-masakan.

Dapur adalah laboratorium belajar anak yang mungkin hampir semua orang punya. Jika kita cermati, banyak sekali aktivitas yang bisa kita eksplorasi bersama anak-anak, yuk kita coba bedah bersama!

Kegiatan Anak-Anak di Dapur

Kegiatan Anak-Anak di Dapur

Aspek Science (segala fenomena yang terjadi di alam, keterampilan proses science: mengamati, membuat pertanyaan, membuat prediksi, merancang, melaksanakan eksperimen, dan berdiskusi).

kedengerannya berat, padahal, kita hanya perlu mengeluarkan jurus andalan ketika mendampingi anak belajar, yaitu NGOBROL.

Beberapa aspek sains yang ada dalam aktivitas di dapur ini:

  • Mengamati batang kangkung yang mengapung.
  • Adonan tepung yang menggumpal ketika dicampur cairan.
  • Cokelat yang meleleh ketika dipanaskan.
  • Spons cuci piring yang mengeluarkan busa ketika diremas dengan sabun.

Aspek Technology Traditional (inovasi dalam memodifikasi alam, agar dapat memenuhi kebutuhan & keinginan manusia, dalam hal ini meliputi segala peralatan yang dapat mempermudah pekerjaan manusia). Beberapa aspek teknologi yang ada dalam aktivitas di dapur ini:

  • Penggunaan timbangan untuk mengukur takaran bahan kue.
  • Penggunaan mixer saat membuat adonan brownies.
  • Penggunaan oven untuk memanggang kue.
  • Penggunaan kursi agar anak dapat menjangkau keran saat mencuci piring.
  • Penggunaan saringan untuk mengayak tepung atau mengangkat batang kangkung dalam wadah berisi air.

Aspek Engineering/Teknik (berupa pengetahuan dan keterampilan mendesain serta mengkontruksi mesin, peralatan, sistem, material yang bermanfaat bagi manusia, secara ekonomis dan ramah lingkungan).

Untuk bisa memahami aspek ini, memang perlu banyak mencari tahu sumber-sumber apa saja yang termasuk dalam keterampilan teknik.

Intinya sih, keterampilan ini nantinya agar kita dapat memecahkan masalah pada saat menggunakan bahan, desain, kerajinan, dan bangunan. Juga untuk membantu kita memahami bagaimana dan mengapa suatu benda atau alat itu bekerja.

dhuhad

Beberapa aspek engineering/teknik yang ada dalam aktivitas di dapur ini:

  • Spons harus diremas agar dapat mengeluarkan busa.
  • Menyusun sate dari mainan yang berlubang menggunakan pensil, ditata supaya tidak jatuh berhamburan.
  • Menyusun sate menggunakan marshmallow, anak memahami bahwa tusuk bagian tajam berfungsi agar bahan sate dapat mudah terpasang.

Aspek Art/Seni (Pola pikir kreatif membantu para ilmuwan, pembuat dan pengembang teknologi, insinyur, dan ahli matematika dalam berinovasi dan menyelesaikan masalah yang ada di dunia ini. Bereksplorsi secara aktif dengan seni dalam kehidupan sehari-hari membantu kita untuk mengekspresikan apa yang kita ketahui dan rasakan.)

Membuat kue dari aneka bahan

Membuat kue ulang tahun dan ekspresi wajah

Beberapa aspek Art/seni yang ada dalam aktivitas dapur atau masak-masakan ini:

  • Menghias kue bolu atau brownies.
  • Membuat dekorasi kue ulang tahun menggunakan sejumlah bahan-bahan yang berserak di taman.
  • Bernyanyi bersama.
  • Bermain peran menjadi koki dan penjual makanan.

Aspek Matematika (Ilmu tentang pola-pola, hubungan-hubungan, dan menyediakan bahasa bagi teknologi, sains, dan engineering).

Angka, bilangan dan operasi, pengukuran, pola, geometri, serta ruang dan spasial adalah bagian matematika yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan logika sistematis dan pemodelan dapat memecahkan masalah kehidupan.

Beberapa aspek Matematika yang ada dalam aktivitas dapur atau masak-masakan ini:

  • Mengukur bahan kue menggunakan timbangan.
  • Menuang air ke dalam wadah.
  • Mengambilkan bahan kue sejumlah bilangan yang dibutuhkan.
  • Menghitung jumlah potongan kue atau jumlah telur yang akan dipakai.
  • Mengklasifikasikan sate-satean berdasarkan warna.
  • Menyebutkan nama bentuk (geometri) dari bahan-bahan dan peralatan yang digunakan.

Wah, ternyata anak-anak bisa mendapatkan pengalaman yang banyak sekali ya lewat kegiatan sehari-hari ini. Tinggal saya sebagai fasilitator yang harus terus berlatih agar bisa membawakan semua itu secara mengasyikkan buat anak-anak. Sehingga anak melihat proses belajar ini, adalah pengalaman yang sangat menyenangkan dan dinanti-nanti.

Referensi definisi STEAM saya sarikan dan cuplik dari website Rumah Main STrEAM:

Rumah Main STrEAM, didirikan pada tahun 2018, merupakan “rumah” kedua bagi keluarga, sekolah, dan masyarakat untuk terlibat dengan pembelajaran dan bermain berbasis STEAM (Sains, Teknologi, Teknik, Seni, dan Matematika).  https://www.rumahmainstream.org/

 

Tentang Etika Menghargai Karya Cipta Orang Lain

Foto: Anna Shvets via Pexels

Foto: Anna Shvets via Pexels

Berikut ini saya akan membagikan refleksi dari Orientasi ke-2 dari Komunitas Ibu Main STrEAM tentang pemahaman tentang HaKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual).

Sebelumnya, saya akan menceritakan secara singkat garis besar materinya, yaaa..

MENGAPA KITA HARUS PEDULI HaKI?

Sekarang saya ingin memberi sebuah gambaran,

Bagaimana pendapat Anda jika anda seorang desain grafis, kemudian ada orang lain yang tanpa izin menggunakan mencetak karya-karya anda dan dijual untuk kepentingan mereka?

Bagaimana jika anda seorang penulis, kemudian kata-kata anda dikutip sebagian atau mungkin seluruhnya, dan diganti dengan nama orang lain untuk diikutsertakan dalam lomba atau dalam karya tulis mereka?

Bagaimana jika anda seorang pembuat kue, melakukan percobaan dan gagal berkali-kali sampai akhirnya menemukan formula resep sukses, kemudian ada orang lain menggunakan resep Anda, tanpa mencantumkan nama Anda untuk popularitas mereka?

dan masih banyak lagi.

Tentu anda akan sedih, merasa tidak dihargai, kecewa, gondok, marah, jengkel dan ingin ngamuk.

Mengapa? ya karena Anda yang sudah menciptakan atau membuat usaha keras, tapi ada orang lain yang memotong jalan pintas itu untuk keuntungan pribadi.

Dengan empati ini, tentu kita harusnya langsung sadar bahwa namanya karya cipta orang lain itu haruslah mendapatkan perhatian dan kepedulian. Cara sederhana adalah dengan mencantumkan nama mereka, tidak mengkomersialisasikan (mencari keuntungan), dan meminta izin jika akan menggunakan karya mereka.

MAU TIDAK MAU HARUS MELEK & PEDULI HAKI

Saya dan Anda pasti (kemungkinan besar), kita akan bersinggungan dengan HaKI,  karena sejatinya, di era digital saat ini, semua orang yang memposting sesuatu untuk publik adalah pembuat konten (content creator). Tidak sedikit, kita juga membutuhkan media visual, teks, suara/musik, dan video untuk menunjang apa yang ingin kita sampaikan di media sosial. Ketika media penunjang itu kita main asal comot saja dari karya orang lain, kemudian tidak menyertakan sumber atau atas izin mereka, sama saja kita seperti pencuri.

Tujuan HaKI adalah untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual adalah untuk melindungi si pemilik karya. (Sumber: talenta.co)

 

SOLUSI : PELAJARI JENIS-JENIS KODE LISENSI

Sumber: wikimedia.org (Creative commons license spectrum.)

Sumber: wikimedia.org (Creative commons license spectrum.)

Tenyata, kita bisa menggunakan media yang ada di internet untuk kepentingan pribadi, namun kita juga harus mempelajari lisensi yang diberikan oleh pembuatnya. Lisensi adalah izin untuk menggunakan, menyalin, atau mengubah suatu karya cipta yang diberikan pembuat karya kepada para pemakai karya mereka.

Ada beberapa jenis lisensi atau perizinan yang diberikan, ada yang hanya untuk penggunaan pribadi, ada yang tidak boleh dimodifikasi, ada yang hanya boleh dibagikan dengan mencantumkan pembuat karya, ada juga yang membebaskan izinnya bahkan boleh dikomersialisasikan.

Berikut ini adalah jenis-jenis lisensi oleh pembuat karya di internet (Creative Common). Jika mungkin juga bisa mengecek disclaimer, atau kebijakan untuk penggunaan karya-karya ini ya.

Ada banyak artikel yang menjelaskan tentang Creative Common atau arti dari kode-kode lisensi ini, silakan dibrowsing ya 🙂 .

Adab atau etika menuntut ilmu adalah dengan jujur dengan diri sendiri dan menghargai karya orang lain.

 

Menjadi bahan perenungan, bahwa kelak anak-anak juga harus memahami tentang peduli dan hak-hak orang lain. Bagus juga jadi materi pembelajaran ya, karena anak masih usia dini, bisa menggunakan perumpamaan lisensi peminjaman mainan atau barang lainnya.

Mengapa Ikutan KIMS (Komunitas Ibu Ibu Main STrEAM)?

Belajar mulai dari yang ada, tidak perlu mengada-ngada.

Belajar mulai dari yang ada, tidak perlu mengada-ngada.

Bulan lalu saya melihat teman SMA mengupdate di media sosialnya tentang aktivitas harian anaknya yang berbasis science sederhana di rumah. “Wah, menarik dan variatif sekali kegiatannya”, batinku saat itu. Kemudian, tak berapa lama, saat acara sesi sharing tiap malam minggu, temanku ini membagikan pengalamannya yang belakangan ia ikuti.

Ikutan komunitas ibu mainstream“, itu kalimat yang kudengar.

Hah? mainstream“, (mainstream: umum, overrated, gitu kah?”), unik banget namanya wkwkw.

Ternyata, saya salah. Main STrEAM, ini ternyata merupakan sebuah aktivitas pendidikan berbasis STEAM (Science, Technology, Engineering, Art, and Mathematics).

TUJUAN BERGABUNG KIMS

Saat itu langsung penasaran dan tertarik sekali untuk ikutan. Alasannya:

  1. Saya sedang memulai perjalanan untuk mengaplikasikan pendidikan berbasis keluarga, atau biasa dikenal dengan homeschooling. Otomatis, di sini, peran orang tua harus betul-betul mandiri dan disiplin dalam merancang dan mempersiapkan aktivitas menyenangkan di rumah bersama anak-anak.
  2. Sebagai keluarga yang menjalankan homeschooling, kami sadar untuk mencari “teman seperjalanan” dalam mencapai tujuan pendidikan keluarga. Itu artinya, mengupgrade diri dan berkumpul dengan teman-teman yang “sefrekuensi” menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa dielakkan. Menurut saya, KIMS adalah tempat yang cocok untuk itu.
  3. Saya merantau tinggal di Taipei saat ini dengan dua balita, (usia anak pertama, 4 tahun 4 bulan dan yang kedua, 2 tahun 5 bulan). Ditengah segudang pekerjaan domestik yang tidak bisa dengan mudah didelegasikan ke pihak lain, sering kali saya kehabisan waktu untuk sekadar eksplor/mencari ide kegiatan dan berakhir kebingungan (karena bingung harus mulai dari mana) untuk memilihkan jenis kegiatan untuk anak-anak.
  4. Setelah mendengar pemaparan pada saat orientasi, saya semakin yakin bergabung dengan KIMS dengan segala keunikannya. Terutama dengan filosofi huruf “r” kecil, yang menjadi simbol dari kata “Tradisional”. Saya sangat suka karena disamping pendekatan STEAM, komunitas ini juga mengusung kearifan lokal/nilai-nilai tradisional dalam proses belajar anak.

RENCANA MENJALANI ORIENTASI

Setelah melihat panjangnya durasi orientasi KIMS ini, saya sadar harus membuat perencanaan dan strategi supaya pendekatan STrEAM ini kemudian menjadi budaya dalam keluarga kami.

  1. Menuliskan tiap agenda, jadwal, dan tugas-tugas dalam jurnal harian dan calendar sebagai pengingat agar tidak lupa mengikuti kelas daring/zoom yang diadakan, berikut dengan tugas-tugas yang diberikan. Cara ini dilakukan juga sebagai latihan kedisiplinan dan komitmen kami dalam meraih tujuan pendidikan keluarga.
  2. Menyiapkan  slot waktu khusus untuk mengaplikasikan sesi main ala KIMS. Artinya, saya juga harus mulai menyusun prioritas harian saya dan menyortir kegiatan-kegiatan yang kurang produktif maupun kurang bermanfaat.
  3. Menyiapkan waktu khusus untuk membuka grup WhatsApp utama maupun grup WhatsApp kelompok KIMS, supaya tidak tertinggal dengan info-info penting terupdate.

Bismillah, semoga ikhtiar-iktiar ini mendapatkan keridhaan dari Allah.

Taipei, 28 September 2021

Printable Gratis: Rutinitas Pagi dan Sore Anak-Anak usia Dini

Rutinitas Pagi dan Sore Anak usia Dini (4 th dan 2 th)

Rutinitas Pagi dan Sore Anak usia Dini (4 th dan 2 th)

Setelah membaca ragam manfaat dan pentingnya membangun rutinitas atau routine, maka saya pun akhirnya mencoba membuatkan rangkaian rutinitas pagi untuk anak-anak (4th dan 2 th) dalam bentuk cetak supaya anak-anak bisa melihat sendiri dan mempelajarinya.

Juga sebetulnya, karena kami sudah merasakan manfaat besar dari kebiasaan-kebiasaan yang selama ini (agak) konsisten dilakukan. Misalnya saja, pergi ke toilet sesaat setelah bangun tidur dan sarapan pagi setelahnya. Hal ini ternyata membuat anak-anak secara otomatis meminta jatah makan pagi tanpa harus susah payah menyuruhnya.

Menjadi orang tua adalah tentang membangun kesadaran

Dengan kita menempel jadwal rutinitas pagi ini, secaratidak langsung pula membuat diri mampu memangkas aktivitas yang tidak penting dan tidak perlu pada pagi hari (misalnya: mengecek media sosial, menonton tiktok, dan lain-lain).

Ketika kita paham bahwa ada rutinitas anak-anak yang akan dijalankan, otomatis kita akan mampu mempersiapkan diri baik-baik sebelum terjun mengerjakan segala keperluan di hari tersebut.

Hal ini juga akan sangat membantu orang tua dalam memetakan kemana saja energi akan disalurkan. Karena akhirnya saya sadar bahwa tidak ada yang namanya manajemen waktu. Mau sebanyak apapun durasi jam yang diberikan kita dalam satu hari, toh kemungkinan besar kita akan mengeluh kurang.

Padahal, kita sendiri yang kurang bijak dalam memilih aktivitas.

Manfaat Rutinitas Pagi dan Sore

Berikut ini saya rangkumkan manfaat dan mengapa kita harus mulai membangun rutinitas harian kepada anak-anak:

  1. Membantu anak-anak untuk memiliki body clock atau jam kerja tubuh. Misalnya, mereka akan tahu kapan saatnya waktu untuk tidur dan makan. Setelah saya amati, sejak berusaha untuk konsisten, anak-anak kini mampu mengungkapkan “Umi, aku lapar“, “Umi, aku ngantuk..ayo tidur“, “Umi, aku bosan, mau main ke taman“.
  2. Membangun bonding atau kelekatan. Memiliki anak balita akan akrab dengan ketidakpastian. Namun, jika kita memiliki rutinitas harian, kita akan tahu dan sadar kapan-kapan saja waktu penting yang bisa dihabiskan bersama. Misalnya saja, jam-jam makan bersama.
  3. Berdamai dengan ekspektasi. Anak-anak jadi tahu kapan saatnya harus merapikan mainan dan bersiap untuk tidur malam tanpa protes atau drama berarti.
  4. Sarana untuk mendidik kemandirian dan kepercayaan diri. Misalnya saja, anak jadi tahu sesi-sesi mana saja yang aktivitasnya bisa ia lakukan sendiri. Misalnya saja, kemandirian di toilet, mulai dari masuk dengan berdoa, menyalakan lampu, menyiram air, dan mencuci tangan setelahnya.
  5. Membangun kebiasaan sehat dan baik. Makan, tidur, dan membereskan mainan merupakan kedisiplinan yang perlu dilatih hingga kelak menjadi kegiatan otomatis (habits). Jika anak-anak tahu kapan-kapan saja waktunya makan dan tidur, otomatis kegiatan lain pun menjadi tidak terganggu. Orang tua pun akan bisa meluangkan waktunya untuk hal lain.

Saya jadi teringat cerita beberapa teman yang seharian berkutat di dapur karena perkara makan yang tidak kunjung usai. Anak pertama minta makan, yang kedua belum mau makan. Juga, saat makan mereka minta disuapi sehingga harus mendampinginya nyaris pagi hingga petang.

Akhirnya saat malam pun, perasaan orang tua berantakan dan merasa kurang produktif. Hal ini jika dilakukan setiap hari, tentu akan membuat stres dan menaikkan level kecemasan. Karena saya pun tak jarang mengalaminya.

Untuk itu, berikut ini kami coba membuat rutinitas pagi dan sore untuk anak-anak usia dini (preschool), yang mungkin bisa bermanfaat untuk teman-teman. Dalam printable ini, saya mengambil dari berbagai sumber (ada yang berbayar, sehingga resolusinya akan pecah saat dicetak.

FREE Download Rutinitas Pagi Sore Anak Homeschooling Islami

FREE Download Rutinitas Pagi Sore Anak Homeschooling Islami

PDF Rutinitas Harian (Pagi & Sore)  Silakan Download di Sini 

Semoga bisa bermanfaat untuk teman-teman ya

Sumber gambar:
1. https://blog.google/technology/families/kids-space/
2. https://www.slideshare.net/EmilyStone47/chore-routine-chart
3. https://www.etsy.com/listing/785365944/morning-and-evening-routine-chart?ref=landingpage_similar_listing_top-6
4. https://en.al-dirassa.com/islam-quran-arabic-children/
5. https://www.shutterstock.com/image-vector/muslim-kid-praying-203133709
6. https://www.dreamstime.com/stock-illustration-kids-toy-box-full-toys-modern-flat-style-vector-illustration-cartoon-clipart-image82200341
7. https://www.123rf.com/clipart-vector/chicken_dinner.html
8. https://pngtree.com/freepng/multi-food-breakfast-clipart_5726131.html
9. https://www.seekpng.com/ipng/u2q8w7q8u2e6q8i1_at-getdrawings-com-free-for-personal-use-evening/
10. https://snipstock.com/image/the-sun-png-images-transparent-sun-pngs-sunny-sunshine-24-png-79655

 

 

Sharing Pengalaman Memilih Printer untuk Kegiatan Sekolah Rumah (Homeschooling)

Hasil Printer Warna HP Ink Tank 315

Hasil Printer Warna HP Ink Tank 315

Sejak anak menginjak usia 4 tahun, akhirnya memutuskan untuk membeli printer supaya mendukung kebutuhan bermain dan belajar anak-anak.

Sempat bingung juga dengan beberapa merek dan banyaknya tipe yang ada. Nah di artikel kali ini, saya akan memberikan pengalaman dan pertimbangan apa saja yang saya pikirkan ketika membeli sebuah printer untuk kegiatan sekolah di rumah.

1. Beli Bekas atau Baru?

Karena saat ini saya berdomisili di Taipei (Taiwan), maka hal ini menjadi pertimbangan pertama yang muncul. Karena belum tahu akan tinggal berapa lama lagi di Taiwan. Jika hanya sebentar, tentu nampaknya lebih efisien jika saya membeli yang bekas saja (karena tentu banyak pilihan dengan harga yang sangat terjangkau).

Namun, akhirnya saya membeli printer baru karena demi mengurangi resiko printer macet di kemudian hari, sedangkan saya tidak ingin energi habis untuk mencari tukang service di negeri yang saya belum kuasai bahasanya ini.

Dengan membeli baru, paling tidak saya akan mendapatkan jaminan garansi satu tahun, yang memberikan rasa aman jika terjadi kendala teknis diluar kesalahan eksternal.

2. Tipe Printer : Multifungsi “Print, Scan, Copy” atau Tunggal “Print Only”?

Ini adalah pertimbangan yang tidak kalah lama saya pikirkan. Masalah pertama adalah, saya ingin printer yang tidak menyita banyak ruang. Namun ternyata, ketika mendapatkan jenis printer yang saya taksir, ternyata ukuran antara kedua model hanya selisih 5 cm-an.

Itulah mengapa, akhirnya saya memilih sekalian saja yang multifungsi, karena toh ternyata harganya hanya beda sekitar 500 NT saja.

Jadi, dari awal yang saya berpikir tidak mengapa jika kebutuhan scan hanya menggunakan kamera foto, akhirnya mencoba berpikir ulang. “Ah, barangkali, kelak akan sangat berguna untuk menyimpan karya anak-anak dalam bentuk digital”.

3. Model Pengisian Tinta: Catridge Saja atau dengan Tangki Tinta Tambahan

Nah, ini juga merebut perhatian cukup lama. Bersyukur bisa menemukan video-video review dan unboxing printer, sehingga bisa mempelajari hal-hal apa saja yang sebelumnya tidak terpikirkan.

Jadi, memang terkadang ada printer yang harganya murah. Namun, ketika dicari harga catridge-nya (kotak isi ulang tinta), ternyata harganya mahal sekali. Bahkan mungkin, harganya setengah dari harga printer.

Pilihan akhirnya jatuh pada model printer dengan tangki tinta di luar. Saya juga menelusuri, apakah tintanya bisa menggunakan merk lokal atau tidak (ternyata yang saya pilih ini bisa). Karena tentu, harganya akan jauh lebih murah.

4. Mengapa Tidak Memilih Jenis Printer dengan Fitur Wireless?

Saya lebih nyaman untuk menggunakan kabel karena saya lebih suka untuk mengecek ulang apa yang akan saya cetak menggunakan laptop terlebih dahulu.

Lagi pula, perbedaan harganya pun lumayan signifikan. Untuk jenis printer yang sama dengan fitur wireless saja, selisih harga mencapai kurang lebih 1.000 NT.

Juga, saat membaca beberapa komentar di kolom komentar beberapa video review, saya menemukan adanya beberapa orang yang mengalami kendala konektivitas untuk fitur wireless-nya. Dengan begitu, akhirnya mantap memilih printer tanpa fitur wireless.

Pilihan pun jatuh ke merk HP tipe Ink Tank 315

printer ink tank 315 HP

Sebetulnya saya belum betul-betul membuat perbandingan dengan merk lain (Epson, Canon, Brother, dll) dengan spesifikasi printer sejenis. Pilihan merk HP murni preferensi subjektif hanya karena ini adalah merk pertama yang saya pernah miliki saat di bangku sekolah menengah.

Dari pengalaman itulah, akhirnya saya cukup berani untuk kembali menggunakan merk HP. Karena dulu, sama sekali tidak ada kendala kecuali harga catridge original yang terbilang mahal.

Printer HP tipe Ink Tank 315 ini bisa dibilang cukup terjangkau, yaitu sekitar 2.990 NT (ongkos kirim  dan kertas A4 70 gsm gratis). Saya membelinya melalui e-commerce di Taiwan di sini. Beberapa catatan dan spesifikasi tentang printer ini:

  1. Kapasitas tinta yang cukup banyak (ink tank system), tinta hitam 80 ml dan tinta warna masing-masing 70 ml.
  2. Mengklaim mampu mencetak hingga 6000 halaman hitam putih dan 8000 halaman warna.
  3. Pengisian tinta yang sangat mudah dan tidak perlu takut tumpah. (botol anti tumpah dengan karet pada bukaannya).
  4. Konektivitas menggunakan kabel tipe USB.
  5. Variasi kertas mampu mencetak di: Plain Paper, HP Photo Papers, HP Matte Brochure atau Professional Paper, HP Matte Presentation Paper, HP Glossy Brochure or Professional Paper, Photo Inkjet Papers, Matte Inkjet Papers, Glossy Inkjet Papers.
  6. Ukuran kertas: A4, B5, A6, DL envelope.
  7. Resolusi cetak: Hitam sampai dengan 1200 x 1200 dpi, Warna sampai dengan 4800 x 1200 dpi.
  8. Bisa mencetak secara utuh (tanpa menyisakan margin) atau borderless.

Nah dengan fitur-fitur ini, saya rasa akan sangat cukup untuk kebutuhan mencetak bahan-bahan untuk belajar di rumah.

Demikian informasi tentang printer yang saya gunakan untuk kegiatan Sekolah Rumah kami. Artikel ini murni pengalaman pribadi dan bukan endors/sponsor. Saya membuat ini supaya memberikan sedikit gambaran kepada para orang tua atau tenaga pendidik, tentang beberapa pertimbangan yang mungkin bisa memberikan wawasan sebelum memutuskan untuk membeli printer.

Semoga bermanfaat.